Kamis, 05 Juli 2012

Tiga Tujuh Dua Enam mdpl (part 2)



.......
Mbak Endah yang saya tau cukup berpengalaman soal naik gunung terlihat melemah. Langkahnya mulai gontai. Apalagi saya yang tak ada pengalaman sama sekali. Dia sempat menyuruh saya jalan duluan karena dia kelelahan. Tapi saya memutuskan untuk berjalan beriringan dengannya. Apalagi hari semakin gelap. Dan bodohnya saya , saya tak membawa senter. Niat beli senter waktu di pasar malah kelupaan >.<

Waktu untuk berhenti dan isitirahat saya rasa lebih banyak daripada langkah kami menyusuri 7 bukit penyiksaan ini. Yaaa… 7 bukit ini benar-benar menyiksa.

Dan akhirnya matahari menghilang berganti gelapnya malam. Hujan masih saja mengguyur. Basah. Dari ujung kepala sampai kaki basah sudah. Saya pasrah dan tetap melangkah. Tak ada tempat dan tak ada waktu untuk berteduh. Tubuh pun menggigil sejadi-jadinya.

“Pak masih jauh ya?” Tanya mbak Endah pada porter yang melintas.
“1 bukit lagi mbak. Di atas sana udah Pelawangan kok.” Jawab pak porter lalu berlalu.

Aaahh… baiklha… sedikit lagi pikir saya. Saya langsung membayangkan akan ada hamparan tenda-tenda pendaki di atas sana, dan tentu saja tenda kami pasti sudah berdiri, mengingat Adhi dan bbrp lainya sudah sampai duluan. Saya hanya ingin segera sampai, masuk tenda, berganti pakaian, dan menyeruput teh. Khayalan semakin menjadi-jadi.

Sampai tiba-tiba kami bertemu seorang lelaki. Sebut saja mas Mulekat (begitu mbak Endah menyebutnya karena kami tidak sempat berkenalan dengannya ^_^). Ketika kami berisitirahat sejenak, dia pun istirahat. Dia sendirian. Tapi menurut pengakuannya, temannya masih di bawah. Dan dia naik Rinjani dari bawah cuma pakai sandal jepit. What..?? hebat. dan dengan berbaik hati dia berbagi coklat dengan kami. Aahhh… rezeki emang ga kemana. Di tengah udara dingin begini, coklat lumayan untuk mengisi perut yang mulai ga bisa kompromi.

Udara dingin masih menusuk. Istirahat ga bisa lama-lama kalau ga mau mati kedinginan. Tubuh harus terus bergerak. Dan perjalanan pun dilanjutkan. Satu bukit lagi. Dan asupan coklat barusan cukup menambah energy :)

Di tengah gelapnya malam, dan hanya berbekal 1 headlamp mbak Endah, kami meraba jalan. Dan beberapa kali saya sempat terpeleset. ''Aduh, Aw, Mbak En …" Tiga kata yang berulang-ulang keluar dari mulut saya ketika jalan mulai tak stabil.

Finally… jalan mulai melandai. Kami sampai di Pelawangan. Mulai terlihat cahaya-cahaya kecil yang berasal dari tenda para pendaki. Alhamdulillah… berasa nemu surga (lagi-lagi ga berlebihan). Berarti sudah sampai, saatnya mencari tenda tim kami.

“Mbak Dian, Mbak Indri, Adhi, Mbak Lia..!!”
Satu persatu nama temen-temen kami teriaki. Mencari tau dimana tenda kami berdiri.
Tapi tak ada sahutan. Coba lagi.
“ Mbak Dian, Mbak Indri..!!”
“Iya…”
Aahh.. ada sahutan. Mulai mencari darimana arah suara.
“Iya.. disini Indri..”
“ Mbak Indri…” ahh… ketemu. Dan saya mulai bernapas lega.
“Tenda kita dimana..?” Tanya mbak Indri.
“Lho… kan kalian yang jalan duluan mbak. Gimana toh?” saya mulai bingung.
“ iyaaa.. ini aku di tenda orang lho. Aku kedinginan tadi,, jadi nimbrung kesiini. Aku ga tau Adhi dan yang lainnya dimana.” Jawab mbak Indri dari dalam tenda.

Yaaa.. ternyata mbak Indri ntah bagaimana ikut dengan tim pak Joko (bapak yg sudah beberapa kali berpapasan dengan tim kami sejak dari bawah).
Pfuuhh… Panik pun singgah lagi. Dari bersembilan, yang keberadaannya jelas saat ini hanya kami bertiga.
“Mungkin temen-temennya masih ke atas lagi mbak. Di atas kan ada tempat ngecamp juga.” Pak Joko tampaknya berusaha menenangkan kami.
“ hah..?? ke atas lagi..?” jujur saya sudah ga kuat sebenarnya. Dan malah di camp ground ini kami tidak menemukan apa yang kami cari. Oh GOD..!! >.<
“Ya udah, kita coba cari yang lain dulu ya mbak, kamu disini aja dulu.”
Setidaknya kami sudah menemukan mbak Indri, dan dia aman. Maka saya dan mbak Endah pun melanjutkan perjalanan mencari keberadaan Adhi, mbak Lia, dan mbak Dian.

Dan eh… kami menyadari si mas Mulekat sudah menghilang. Kami lupa mengucapkan terima kasih. Terima kasih untuk cokelatnya, terima kasih sudah mem-back up kami sampai ke Pelawangan dan bertemu mbak Indri.
Yang pasti dia orang kan yaaa.. atau jangan-jangan beneran Malaikat. Aaahh… tak usah dibayangkan sampai sebegitu jauh sepertinya :)

Kembali menyusuri malam. Mengikuti jalan setapak menuju cahaya yang berpendar dari kejauhan yang berasal dari tenda para pendaki lainnya. Dan… lho… kok cahayanya menghilang. Perasaan tadi arahnya bener ke arah sini. Saya dan mbak Endah terdiam.

“Bener kan mbak jalannya?” saya mulai panik lagi.
Perasaan jelas banget deh arahnya kemari. Kok malah jadi gelap yaaa… saya mulai bertanya-tanya.
“mungkin salah jalur deh din. Aku coba cari jalannya lagi deh. Adin disini aja ya. Ntar aku balik kalo udah nemu.”
Hah..?? saya mau ditinggal? Enggak deh. Biarpun sejujurnya saya amat sangat lelah, mending tetap terus bareng-bareng daripada berpencar lagi.
“Enggak mbak. Aku ikut..!! Aku masih kuat kok.” Saya mencoba meyakinkan mbak Endah.
Dan benar saja, ternyata jalan berbelok sedikit dan kami menemukan camp ground yang tadi sempat tak terlihat sejenak.

Pfuuuhh… saya kembali bisa bernapas lega.
Dan teriakan memanggil Adhi, mbak Lia, dan mbak Dian pun dimulai lagi.
Beberapa kali… “Adhiiii… Liaaaaa… Diaaaann…” mbak Endah coba berteriak.
“mbak Endaaaahh..!!”
Nah lho… kok malah ada yang nyaut manggil mbak Endah. Dan mbak Endah pun menyauti teriakan yang memanggil namanya. Kami berharap itu Adhi.
“Adhiiii…!!”
“bukaaaan..”
Lhooo.. apalagi ini…
“mbak.. itu siapa yang manggil kamu?” saya mulai bertanya-tanya. 
“ga tau din…”
“mbak Endah, disini kang Ay..!”
“ooohh…”
Maka kami pun mendekati arah suara berasal.
Kang Ay adalah anggota timnya mas Tege (yang sempat kami repotin mulai dari bandara kemarin :) ).
“masuk aja dulu mbak.. angetin badan, ngeteh dulu.” Kang Ay menawarkan kami masuk ke tendanya.
“enggak ah,, kita udah basah lho kang.” Masih mencoba menolak tawaran kang Ay, meskipun sejujurnya tawarannya rugi untuk ditolak :D tapi kalau boleh milih, saya sebenarnya ingin segera bertemu Adhi dan lainnya. Tenda sendiri pasti jauh lebih nyaman. Tapi tubuh yang menggigil ga bisa diajak kompromi.

“udah gak apa-apa… isitirahat sebentar.. nanti baru nyari temennya lagi.” tawaran kang Ay masih berlaku.
Maka tanpa ba bi bu lagi. Saya dan mbak Endah nyungsep ke tendanya kang Ay. Dan mereka baik luar biasa. Kang Ay merelakan selimutnya ke saya. Dan personil tenda lainnya - ada kang Nyot dan mas Locker – berbaik hati membuatkan teh dan kopi panas buat kami. Menyuguhi sebungkus biskuit. Aaahh… nikmat luar biasa :) . Saya yang masih kedinginan ternyata cukup terlihat jelas oleh mereka. Mereka pun merelakan kembali sleeping bag untuk saya pakai sekedar meredam dingin. Dduuhh… padahal baju basah begini. Tapi mereka tetep menjamu kami dengan ramahnya.

Tak lama kemudian mas Tege datang, dan info yang kami terima darinya cukup membuat kami dapat tersenyum lebar. Mas Tege sudah ketemu mbak Dian, Adhi dan mbak Lia. Dan dia tau dimana tenda kami berdiri. Karena mengetahui kami ada di tendanya, Mas Tege pun kembali menemui mbak Dian dan menginformasikan bahwa kami ada di tenda timnya.

Tak lama kemudian, mas Tege kembali ke tenda, lalu disusul mbak Dian dan mas Haikal (temen baru mbak Dian dan mbak Indri, ketemu waktu di bandara Ngurah Rai)… dan pertemuan kami cukup mengharu biru. Huwaaaa… akhirnya bisa kumpul lagi. Lalu, Mbak Dian pun menjemput mbak Indri yang masih ngadem di tenda pak Joko.

Eehh..tapi.. belum semuanya kumpul. Hamzah, Achie, dan mbak Nina masih belum sampai. Jam tangan saya menunjukkan pukul tujuh malam kalau tidak salah. Maka perasaan was-was muncul kembali. Tapi sesaat kemudian, terdengar teriakan memanggil Adhi dan mbak Endah, nah.. itu psti rombongan Hamzah. Yaa.. benar saja, Hamzah, Achi, dan mbak Nina pun sampai. Jadilah saat ini kami beramai-ramai nimbrung di tendanya mas Tege dan kawan-kawan.

Karena udara semakin tidak bersahabat, sementara baju basah parah. Maka saya, mbak Endah, dan mbak Indri memutuskan mengganti pakaian sebentar di tendanya Rian dan Tutu (temen setimnya mas Tege). Yaaakk.. maka malam itu, mas Tege dkk sukses kami repotkan. Terima kasih amat sangat banyak buat kalian. :’)

Semuanya sudah lengkap, Dadah-dadah dan say thanks ke mas Tege dkk,, Kami pun melanjutkan perjalanan menuju tenda kami yang sebenarnya. Di bantu mas Haikal (krn mbak Dian malah lupa jalan menuju tenda… owalah… hehehe) kami menyusuri jalan setapak menuju tempat yang dituju.
Alhamdulillah…. Sampai.
Saatnya berberes diri, makan malam, dan sleeping bag pun di gelar. Siap tidur. Dan rencana muncak dini hari nanti pun sepertinya akan batal. Ga kuat. Kami sudah terlalu lelah.


Senin, 14 Mei 2012
Dan benar saja… langit sudah terang ketika saya bangun. Jam tangan menunjukkan pukul lima pagi waktu setempat. Saya keluar tenda. Dan melihat beberapa pendaki turun dari arah puncak. Terlihat kang Nyot dan mas Locker.

“sampe puncak mas…?” teriak mbak Indri yang saat itu berdiri disebelah saya.
“enggak mbak… badai… daripada hipotermia, kita milih turun deh.”

Saya pun melihat ke sekeliling sejenak. Yaaa.. pagi ini langit memang tak berwarna selain warna putih. Berkabut. Matahari saja bersembunyi. Dan sesekali air langit terasa menyentuh kulit. Maka saya bisa membayangkan bagaimana di puncak sana kalau udara di Pelawangan saja sudah begini.

Summit attack totally failed. Itu yang terlintas di pikiran saya saat ini.
Tapi temen-temen yang lain meyakinkan saya semoga cuaca malam ini lebih baik sehingga kami bisa muncak. Pfuuh… jujur saja saya tak yakin. Udara spertinya benar-benar tak bersahabat.

08.00 WITA Kami kedatangan tamu :) mas Haikal datang dan menawarkan untuk muncak jam 10 pagi ini.
Haahh..?? tawarannya cukup menggiurkan sih. Setidaknya kami akan lebih save jika gabung dengan tim mereka. Kami 7 cewek, 2 cowok, dan tim mas Haikal keempatnya cowok.

Tapiiii… keyakinan saya masih goyah. Setau saya (hasil nonton acara tipi), muncak Rinjani itu sebaiknya dibawah jam 8 pagi. Di atas jam 8 cuaca di puncak berbahaya. Dan seketika pikiran saya kacau balau.
Mas Haikal pun meyakinkan bahwa gak ada masalah muncak pagi begini. Begitu info yang dia dapat dari bapak porter timnya.
Hmm… baiklah… saya pun ngikut.

09.30 WITA Persiapan… dan karena emang ibu-ibu yaaaa… lama deh prepare nya.. hihihihi… tau banget deh tim nya mas Haikal bosen nungguin kami :D

- Prepare yang memakan waktu ;) -

11.00 WITA langkah pertama menuju puncak pun diayunkan.
Berpapasan dengan tenda terakhir di camp ground, ada suara yang cukup menggoyahkan keyakinan. Berasal dari bapak porter disitu, “waaahh.. pendaki sekarang ekstrim yaaa… gila!!”
Kami Cuma tersenyum, tapi saya sempat menghentikan langkah, begitu juga dengan Achie dan mbak Lia. 

Hmm… mungkin ucapan bapak porter barusan semacam reminder bahwa muncak jam segini sangat tidak disarankan. Saya coba mengaitkan ucapan bapak porter dengan info dari tv yang pernah saya tonton.
Perlahan saya melanjutkan langkah, menengadahkan kepala, diatas sana sudah ada mas Haikal, mbak Endah, mbak Indri, mbak Lia, Adhi. Baiklah… sepertinya tidak ada salahnya mencoba. Cuaca juga sepertinya sudah membaik.

Langkah pun dilanjutkan kembali. Berpapasan dengan beberapa pendaki yang turun. Dan ketemu lagi dengan kang Ay dan mas Tege. Ngobrol sebentar, dan warning dari mereka untuk lebih hati-hati, karena meski cuaca dibawah aman, semakin ke puncak akan ada badai. Saya sempat kembali goyah, tapi hati saya berontak untuk terus berjalan, meyakinkan diri bahwa saya bisa sampai puncak. Tapi Achie... smpat terdiam cukup lama dan akhirnya memutuskan turun, kembali ke tenda. Dan Hamzah pun mengantarkan Achie.
Kami terus melanjutkan perjalanan. Trek pasir cukup buat frustasi. Naik 3 langkah turun 2 langkah. Ow my God. Cuaca pun tak stabil. Terang, gelap, hujan mulai turun, cerah kembali, gerimis.

- trek pasir -

 Saya tertinggal cukup jauh. Saat ini hanya ada Adhi, mbak Nina, dan mbak Dian.
Setiap ada kesempatan beristirahat, saya selalu menengadah ke atas, dan melihat ke bawah. Perang batin. Keyakinan saya bolak-balik goyah, antara melanjutkan perjalanan ke puncak atau turun kembali ke tenda. Apalagi cuaca tak menunjukkan ada kemungkinan ke arah membaik. Sepanjang jalan ditemani kabut, angin dan hujan kecil. Tapi kalau saya turun, saya turun sama siapa?? Nanti nyasar lagi. Perang batin tak kunjung usai.

- saya yang tertinggal jauh -

2 jam perjalanan, langkah saya melambat. Saya mulai sangat frustasi, amat sangat lelah, jantung bolak-balik berdetak tak biasa, perasaan ga karuan. Saat ini saya hanya berharap masih ada pendaki yang turun dari puncak, dan saya akan ikut turun. Tapi kenyataannya sampai 1 jam berlalu, tak tampak ada pendaki yang turun. Yaaa… sepertinya tim kami adalah rombongan terakhir yang muncak hari ini.

Sekujur tubuh basah sudah, saya kedinginan, menggigil. Begitu ada batu yang cukup besar, saya pun berlindung di baliknya sekedar menghalau angin yang terus berhembus. Cukup lama saya terdiam, berpikir. Seketika memori otak saya memutar ulang semua perjuangan dan pengorbanan saya sampai ke titik ini.

Impian, Doa, Hidup, Tuhan.

Mulai terasa sesak. Perlahan air mata mulai mengalir. Saya tertunduk, mencoba menepisnya. Saya ga mau mbak Dian, mbak Nina, dan Adhi yang saat ini bersama saya khawatir jika melihat saya menangis.

“mbak, saya turun.”

Kalimat ini pun akhirnya terlontar dari mulut saya. Sesungguhnya berat sekali mengucapkan kalimat ini. Tapi saya hanya tidak mau semuanya berakhir konyol. Saya sudah berjuang, Tuhan hanya memberi saya kekuatan sampai disini. Syukuri itu. That’s it. Puncak bukanlah segalanya, perjuangan saya dan makna hidup yang saya peroleh dari perjalanan ini merupakan hal yang lebih berharga.

“hah..!! Yakin din..?” mbak Dian spertinya masih tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“kamu pasti bisa kok. Ayo dong… sedikit lagi.. nyampe puncak pasti cuaca cerah deh.. tuh lihat..” mbak Dian menunjuk ke arah langit puncak, yang benar saja seketika saya melihat lagit biru awan putih terhampar indah di atas sana.

“eh Iya… ayo..ayo..” mbak Nina pun berusaha men-supprot saya.
“Yakin mbak… saya turun..” suara saya mulai tak stabil… kembali air mata ingin tumpah.
Keputusan ini sudah saya ambil. Dan saya yakin saya harus turun. Tidak ada tawar menawar.

“Ya udah.. turun bareng aku.” Kata mbak Dian.
“hah..?? Enggak mbak, ga usah. Saya turun sendiri aja.” Saya sudah mengambil keputusan, maka saya harus tanggung resikonya. Saya harus siap turun sendiri. Saya yakin saya bisa, ga pake nyasar :). Lagi pula saya ga mau merasa bersalah, kalau karena saya mbak Dian malah ga jadi muncak.  
“Enggak,, kamu turun saya yang temeni. Emang kamu yakin turun sendiri?”
Ucapan mbak Dian cukup buat saya terdiam dam berpikir ulang.
“udah gak apa-apa, aku temeni.” Kalimat mbak Dian meyakinkan saya.
Saya pun mengangguk dan turun bersama mbak Dian. Sedangkan Adhi dan mbak Nina melanjutkan perjalanan menuju puncak.

“Aku yakin kamu bisa lho Din, kenapa nyerah..??” mbak Dian masih mencoba memompa semangatku untuk muncak.
“ Mbak,, maaf sudah membuat mu ga sampe puncak… maaf yaaa… tapi apa yang udah aku putusin ga akan bisa aku tarik lagi. Perasaanku ga enak mbak. Aku tau kemampuanku cuma sampai disini.” Saya mengucapkan kalimat itu dengan perasaan yang masih berantakan. Masih pengen nangis.

Sampai tiba-tiba Hamzah muncul. Cukup mengagetkan. Karena tadi dia mengantar Achie ke tenda, dan bilang ga ikut muncak. Tapi iniiiii… dia muncul. Waduuu… kalo dipikir-pikir cepet bgt langkah ini anak.

Dan begitu Hamzah muncul di hadapanku.
“Hoiii…!!” teriaknya. “Lho… mau kemana..?” Tanya nya heran.
“Turun… Adin mutusin turun nih.” Jawab mbak Dian.
Saya mengangguk, sedikit tersenyum ke Hamzah, lalu seketika tangisku pecah. Mbak Dian mengelus pundakku menenangkan.
“eh… iyaa.. udah… udah.. udah hebat lha kau ini udah sampe titik ini. Toss dulu..!!” Hamzah mencoba menghibur.
Masih dalam kondisi berlinang air mata, saya pun menyambut tangan Hamzah untuk ber-toss ria ^_^
“Ya udah.. hati-hati kalian yaaa… aku anter jaket mbak Endah dulu nih,, nanti aku susul kalian turun. Kasian dia, tadi jaketnya malah aku bawa turun.”

Saya dan mbak Dian mengangguk dan melanjutkan perjalanan turun.
“Din, kamu masih inget jalannya kan..? aku ini payah kalo inget jalan.”
Nah lho… si mbak Dian mau nemeni saya turun malah ga inget jalan turun. Hahaha… saya sempet kaget denger pertanyaannya. Tapi memang… yang penting itu adalah tidak sendiri di tengah situasi seperti ini. Kalopun nyasar, ya nyasar berdua. :D

“Insyallah mbak, liat aja bekas jejak sepatu di pasirnya.”
Dan jawaban saya tak cukup meyakinkan sebenarnya. Tapi mencoba tak ada salahnya.
Kamipun terus melangkah turun. Jalan turun memang lebih gampang dari naik. Kami tinggal memasrahkan pijakan kaki ke pasir, dan srooott…sroooott… kami meluncur seperti main ski :D
Tapi akibatnya…. Tak jarang membuat kami terjatuh. Apalagi mbak Dian,, ntah sudah berapa kali terjatuh. Aaahh… rasa pasir menyentuh kulit lumayan juga. Sakit.

“Lho… ini…” mbak Dian menghentikan langkahnya. Celingak-celinguk mencari jalan selanjutnya.
Yaaa… saat ini, yang terlihat di depan kami adalah jalan curam dan bahkan jurang. Jalan terputus.
“Tapi bener kok mbak ini jalan yang tadi kita lewati.” Saya coba mengingat kembali.
“Iya sih.. dari awal juga udah bener. Tapi bagian yang ini tadi gak ada kan? Gak ada jalan curam kayak gini.” Mbak Dian spertinya mencoba menganalisa.
Saya terdiam sesaat, melihat sekitar, mencoba mencari jalan keluar dari titik ini. Menggigil. Yaaaa… saya semakin menggigil. Pikiran semakin berantakan. Tapi saya mencoba menepis segala pikiran buruk.


-- to be continued --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar