4 Desember 2013, 08.00 WIB
“Aira,
keluar kamar yuk..!! Lihat Mama…!!” Ajak gadis muda berkerudung yang selalu ada
disamping Aira sejak setahun terakhir, Rena, tante Aira.
“Gak
mau…!! Aira mau main diluar aja.” Aira berlari keluar kamar dan langsung
melesat ke halaman rumah tanpa menoleh sedikit pun ke ruang tamu yang kini
semakin ramai.
Doa
orang-orang yang sedang duduk bersila di ruang tamu rumah Aira terdengar tak
henti-hentinya. Sudah silih berganti pula orang-orang yang datang untuk ikut
berempati.
***
3
Desember 2013, 07.00 WIB
Indra
secepat kilat mengendarai mobilnya menuju rumah sakit. Tak sanggup rasanya dia
melihat wanita kesayangannya meraung kesakitan. Perjalanan yang biasa ditempuh
hampir empat puluh lima menit bisa ditempuh hanya dengan dua puluh lima menit
ketika kondisi mendesak seperti ini.
Indra
tak kuasa mengingat semuanya lagi. Semua berjalan dengan sangat cepat. Secepat
Elsa, istrinya, yang tiba-tiba pusing, terjerembab, mengeluarkan darah, dan
berteriak-teriak. Secepat Aira yang saat itu juga menangis ketakutan dan
dihadang oleh Rena agar tidak ikut bersama Indra dan Elsa ke rumah sakit. Dan
secepat tak terdengarnya tangis Reza Anugerah, calon bayi Indra dan Elsa.
Reza
Anugerah, nama yang sudah dipersiapkan Indra dan Elsa untuk anak kedua mereka.
Anak yang sesungguhnya tak terlalu diharapkan oleh mereka karena kondisi
kesehatan Elsa yang sempat dilarang oleh dokter untuk hamil lagi setelah Aira.
Tapi ketika Aira tumbuh jadi gadis kecil yang lucu dan bijak, permohonannya
untuk mempunyai adik pun tak kuasa ditolak oleh mereka. Dengan usaha maksimal,
konsultasi berulang ke dokter, akhirnya dengan izin Tuhan pula lah Elsa
dianugerahkan calon bayi, yang hari ini telah tumbuh di dalam rahimnya selama 7
bulan.
Tapi
ketika kebahagiaan ini sedang ada di puncaknya, Tuhan mencabut kembali izinNya,
Tuhan mengambil kembali ciptaanNya. Reza Anugerah, belum sempat membuka mata,
belum sempat mengeluarkan tangis, belum sempat dipeluk Aira, kakaknya. Dia tak
lagi bernyawa sejak Elsa dilarikan ke rumah sakit. Dia pun tak sempat mendengar
namanya kelak dipanggil oleh orang-orang yang menyayanginya. Reza Anugerah,
hanya tinggal nama yang kini akan tersemat di batu nisan.
***
3 Desember 2013, 15.00 WIB
“Kamu
sudah makan, mas?” lamat-lamat suara Elsa terdengar dan menyadarkan lamunan
Indra yang tertunduk di samping tempat tidur Elsa dan tak sedikitpun melepaskan
genggaman tangannya.
Indra
tersentak, “Haah..!! Sayang, kamu sudah sadar?” sambil mengelus lembut rambut
Elsa, Indra pun menanggapi pertanyaan Elsa dengan suara bergetar.
Elsa
tersenyum simpul.
“Iyaa..
nanti saja. Mas masih belum lapar.”
“Makanlah…
Ini sudah jam berapa…? Itu suara azan Zuhur atau Ashar?”
Sambil
melihat ke arah jam tangannya, Indra pun menjawab, “Hampir jam setengah empat, itu
adzan Ashar, sayang.”
“Tuh
kan.. ini sudah lewat jam makan siang. Kamu telat makan. Jangan ikutan sakit
seperti aku dong.” Meski dengan suara pelan, Elsa tetap terdengar bawel. Dengan
tangan terinfus, Elsa sesekali meringis mengelus perutnya yang jahitan paska
operasi caesar pagi tadi masih
terasa.
Ah.. istriku… tetap perhatian meski
sakit begini. Indra
pun tersenyum sambil mengelus lembut pipi Elsa.
“Iya..
Mas akan makan setelah sholat Ashar nanti ya.”
“Aku
ikut ya, mas. Kita sholat berjamaah. Aku ingin segera menyampaikan pada Allah
untuk menjaga Reza, aku titip dia sebentar sama Allah. Mungkin saja setelah aku
sholat dan berdoa nanti, aku malah dikasih kesempatan untuk tetap menjaga Reza
disana.”
Indra
tak kuasa menahan deru air matanya. Tapi dia merasa tetap tak boleh membiarkan
air matanya terlihat oleh Elsa.
“Sayaaaang…
kamu ngomong apa sih…? Kamu kan bisa menjaga Reza dari sini. Lagipula, kamu
masih belum boleh sholat. Berdoa saja. Mas juga nanti ikut berdoa sehabis
sholat yah.”
Elsa
tersenyum kecut dan Indra pun mencium keningnya sebelum beranjak untuk
mengambil wudhu.
“Mas..!!”
Elsa berbisik. “Bantu aku duduk mas!” pintanya pada Indra.
“Kamu
mau ngapain? Kamu belum boleh duduk. Jahitan diperut kamu belum kering,
sayang.”
“Aku mau kamu peluk.” Suara Elsa semakin terdengar parau.
“Aku mau kamu peluk.” Suara Elsa semakin terdengar parau.
Indra
pun memenuhi permintaan istrinya. Diangkatnya sedikit tubuh Elsa, dan
dipeluknya. Dan sejujurnya, Indra enggan melepasnya, ingin dia terus memeluk
wanita kesayangannya itu, berharap sakit yang diderita wanitanya pindah pada
dirinya. Sampai pada akhirnya, tangan Elsa yang melingkar di leher Indra
mengendur. Tubuh Elsa melemas, tanpa ada lagi suara, tanpa ada hembusan nafas.
“Elsa,
Sayang.., Elsaaaaa…!!!” Setengah
berteriak Indra menyebut-nyebut nama Elsa, Indra menepuk pipi Elsa. Dengan
senyum yang tertoreh tipis di wajahnya, Elsa telah memejamkan matanya, untuk
selamanya.
***
4
Desember 2013, 09.00 WIB
“Aira, ayo masuk rumah dong
sayang. Kamu gak mau lihat Mama?” Rena masih membujuk Aira.
Sejak
Rena mengetahui bahwa kakak iparnya terkena kelainan darah, tak bisa cukup
lelah bekerja apalagi mengurus rumah dan mengurus Aira. Rena pun memutuskan
untuk tinggal bersama keluaga kecil ini. Rena pun begitu sayang dan setia
menjaga Aira.
“Aira
gak mau…!! Aira disini aja.” Aira masih asik duduk di ayunan sambil sesekali
memainkan bonekanya.
“Aira,
mama mau pergi. Nanti Aira gak bisa lihat mama lagi setiap hari.” Rena terus
berusaha membujuk dan memberi pengertian pada Aira.
“Aira
tahu, tante. Aira tahu mama gak akan pulang-pulang lagi.”
Rena
terkaget sesaat.
“Nah…
kalau kamu tahu, makanya ayo lihat mama, doain mama, sayang. Aira gak sedih mama
gak pulang-pulang lagi? Aira udah gak sayang mama lagi?”
“Aira
akan doain mama kok, Tante. Aira sayang mama. Tapi Aira gak mau lihat mama yang
sekarang. Aira gak tega. Aira tahu kok mama pergi buat jagain adek, jadi Aira
gak apa-apa ditinggal mama. Kan masih ada papa yang jagain Aira.”
Rena
terdiam. Tak disangkanya anak berumur enam tahun di hadapannya itu mampu
berkata-kata sebijak itu. Mampu memahami dirinya sendiri. Mampu mengerti dan
memaklumi kondisinya yang mungkin bagi orang dewasa yang melihatnya akan merasa
iba pada dirinya yang masih kecil. Tapi Aira, dia hanya tak tega melihat
mamanya tergeletak dengan bekas jarum suntik dan jahitan operasi yang melekat
ditubuh mamanya. Selebihnya dia rela mamanya pergi, setidaknya pergi bersama adiknya,
yang sangat dia dambakan.
Rena
pun pada akhirnya meneteskan air mata dan memeluk Aira.
Sungguh,
jarak yang amat sangat tak tertempuh kini antara Indra-Aira dan Elsa-Reza serta
kondisi yang akan sangat berbeda di dalam keluarga kecil ini takkan mampu
membunuh ataupun memusnahkan cinta yang mereka punya, sayang yang mereka
miliki. Bahkan hingga nafas tak berhembus.
Indra
pun beranjak dari pusara wanita kesayangannya yang bersebelahan dengan pusara
jagoan kecilnya yang sudah disemayamkan kemarin setelah operasi selesai. Sambil
menggendong Aira. Mereka pulang. Mengutuhkan kembali cinta yang mereka punya
meski wujud separuh cinta mereka tak lagi ada di samping mereka.