Selasa, 18 Maret 2014

Separuh yang Pergi


4 Desember 2013, 08.00 WIB
“Aira, keluar kamar yuk..!! Lihat Mama…!!” Ajak gadis muda berkerudung yang selalu ada disamping Aira sejak setahun terakhir, Rena, tante Aira.
“Gak mau…!! Aira mau main diluar aja.” Aira berlari keluar kamar dan langsung melesat ke halaman rumah tanpa menoleh sedikit pun ke ruang tamu yang kini semakin ramai.
Doa orang-orang yang sedang duduk bersila di ruang tamu rumah Aira terdengar tak henti-hentinya. Sudah silih berganti pula orang-orang yang datang untuk ikut berempati.

***

3 Desember 2013, 07.00 WIB
Indra secepat kilat mengendarai mobilnya menuju rumah sakit. Tak sanggup rasanya dia melihat wanita kesayangannya meraung kesakitan. Perjalanan yang biasa ditempuh hampir empat puluh lima menit bisa ditempuh hanya dengan dua puluh lima menit ketika kondisi mendesak seperti ini.
Indra tak kuasa mengingat semuanya lagi. Semua berjalan dengan sangat cepat. Secepat Elsa, istrinya, yang tiba-tiba pusing, terjerembab, mengeluarkan darah, dan berteriak-teriak. Secepat Aira yang saat itu juga menangis ketakutan dan dihadang oleh Rena agar tidak ikut bersama Indra dan Elsa ke rumah sakit. Dan secepat tak terdengarnya tangis Reza Anugerah, calon bayi Indra dan Elsa.
Reza Anugerah, nama yang sudah dipersiapkan Indra dan Elsa untuk anak kedua mereka. Anak yang sesungguhnya tak terlalu diharapkan oleh mereka karena kondisi kesehatan Elsa yang sempat dilarang oleh dokter untuk hamil lagi setelah Aira. Tapi ketika Aira tumbuh jadi gadis kecil yang lucu dan bijak, permohonannya untuk mempunyai adik pun tak kuasa ditolak oleh mereka. Dengan usaha maksimal, konsultasi berulang ke dokter, akhirnya dengan izin Tuhan pula lah Elsa dianugerahkan calon bayi, yang hari ini telah tumbuh di dalam rahimnya selama 7 bulan.
Tapi ketika kebahagiaan ini sedang ada di puncaknya, Tuhan mencabut kembali izinNya, Tuhan mengambil kembali ciptaanNya. Reza Anugerah, belum sempat membuka mata, belum sempat mengeluarkan tangis, belum sempat dipeluk Aira, kakaknya. Dia tak lagi bernyawa sejak Elsa dilarikan ke rumah sakit. Dia pun tak sempat mendengar namanya kelak dipanggil oleh orang-orang yang menyayanginya. Reza Anugerah, hanya tinggal nama yang kini akan tersemat di batu nisan.

***

 3 Desember 2013, 15.00 WIB
“Kamu sudah makan, mas?” lamat-lamat suara Elsa terdengar dan menyadarkan lamunan Indra yang tertunduk di samping tempat tidur Elsa dan tak sedikitpun melepaskan genggaman tangannya.
Indra tersentak, “Haah..!! Sayang, kamu sudah sadar?” sambil mengelus lembut rambut Elsa, Indra pun menanggapi pertanyaan Elsa dengan suara bergetar.
Elsa tersenyum simpul.
“Iyaa.. nanti saja. Mas masih belum lapar.”
“Makanlah… Ini sudah jam berapa…? Itu suara azan Zuhur atau Ashar?”
Sambil melihat ke arah jam tangannya, Indra pun menjawab, “Hampir jam setengah empat, itu adzan Ashar, sayang.”
“Tuh kan.. ini sudah lewat jam makan siang. Kamu telat makan. Jangan ikutan sakit seperti aku dong.” Meski dengan suara pelan, Elsa tetap terdengar bawel. Dengan tangan terinfus, Elsa sesekali meringis mengelus perutnya yang jahitan paska operasi caesar pagi tadi masih terasa.
Ah.. istriku… tetap perhatian meski sakit begini. Indra pun tersenyum sambil mengelus lembut pipi Elsa.
“Iya.. Mas akan makan setelah sholat Ashar nanti ya.”
“Aku ikut ya, mas. Kita sholat berjamaah. Aku ingin segera menyampaikan pada Allah untuk menjaga Reza, aku titip dia sebentar sama Allah. Mungkin saja setelah aku sholat dan berdoa nanti, aku malah dikasih kesempatan untuk tetap menjaga Reza disana.”
Indra tak kuasa menahan deru air matanya. Tapi dia merasa tetap tak boleh membiarkan air matanya terlihat oleh Elsa.
“Sayaaaang… kamu ngomong apa sih…? Kamu kan bisa menjaga Reza dari sini. Lagipula, kamu masih belum boleh sholat. Berdoa saja. Mas juga nanti ikut berdoa sehabis sholat yah.”
Elsa tersenyum kecut dan Indra pun mencium keningnya sebelum beranjak untuk mengambil wudhu.
“Mas..!!” Elsa berbisik. “Bantu aku duduk mas!” pintanya pada Indra.
“Kamu mau ngapain? Kamu belum boleh duduk. Jahitan diperut kamu belum kering, sayang.”
                “Aku mau kamu peluk.” Suara Elsa semakin terdengar parau.
Indra pun memenuhi permintaan istrinya. Diangkatnya sedikit tubuh Elsa, dan dipeluknya. Dan sejujurnya, Indra enggan melepasnya, ingin dia terus memeluk wanita kesayangannya itu, berharap sakit yang diderita wanitanya pindah pada dirinya. Sampai pada akhirnya, tangan Elsa yang melingkar di leher Indra mengendur. Tubuh Elsa melemas, tanpa ada lagi suara, tanpa ada hembusan nafas.
“Elsa, Sayang..,  Elsaaaaa…!!!” Setengah berteriak Indra menyebut-nyebut nama Elsa, Indra menepuk pipi Elsa. Dengan senyum yang tertoreh tipis di wajahnya, Elsa telah memejamkan matanya, untuk selamanya.

***

4 Desember 2013, 09.00 WIB
                “Aira, ayo masuk rumah dong sayang. Kamu gak mau lihat Mama?” Rena masih membujuk Aira.
Sejak Rena mengetahui bahwa kakak iparnya terkena kelainan darah, tak bisa cukup lelah bekerja apalagi mengurus rumah dan mengurus Aira. Rena pun memutuskan untuk tinggal bersama keluaga kecil ini. Rena pun begitu sayang dan setia menjaga Aira.
“Aira gak mau…!! Aira disini aja.” Aira masih asik duduk di ayunan sambil sesekali memainkan bonekanya.
“Aira, mama mau pergi. Nanti Aira gak bisa lihat mama lagi setiap hari.” Rena terus berusaha membujuk dan memberi pengertian pada Aira.
“Aira tahu, tante. Aira tahu mama gak akan pulang-pulang lagi.”
Rena terkaget sesaat.
“Nah… kalau kamu tahu, makanya ayo lihat mama, doain mama, sayang. Aira gak sedih mama gak pulang-pulang lagi? Aira udah gak sayang mama lagi?”
“Aira akan doain mama kok, Tante. Aira sayang mama. Tapi Aira gak mau lihat mama yang sekarang. Aira gak tega. Aira tahu kok mama pergi buat jagain adek, jadi Aira gak apa-apa ditinggal mama. Kan masih ada papa yang jagain Aira.”
Rena terdiam. Tak disangkanya anak berumur enam tahun di hadapannya itu mampu berkata-kata sebijak itu. Mampu memahami dirinya sendiri. Mampu mengerti dan memaklumi kondisinya yang mungkin bagi orang dewasa yang melihatnya akan merasa iba pada dirinya yang masih kecil. Tapi Aira, dia hanya tak tega melihat mamanya tergeletak dengan bekas jarum suntik dan jahitan operasi yang melekat ditubuh mamanya. Selebihnya dia rela mamanya pergi, setidaknya pergi bersama adiknya, yang sangat dia dambakan.
Rena pun pada akhirnya meneteskan air mata dan memeluk Aira.
Sungguh, jarak yang amat sangat tak tertempuh kini antara Indra-Aira dan Elsa-Reza serta kondisi yang akan sangat berbeda di dalam keluarga kecil ini takkan mampu membunuh ataupun memusnahkan cinta yang mereka punya, sayang yang mereka miliki. Bahkan hingga nafas tak berhembus.
Indra pun beranjak dari pusara wanita kesayangannya yang bersebelahan dengan pusara jagoan kecilnya yang sudah disemayamkan kemarin setelah operasi selesai. Sambil menggendong Aira. Mereka pulang. Mengutuhkan kembali cinta yang mereka punya meski wujud separuh cinta mereka tak lagi ada di samping mereka.