Sabtu, 07 Juli 2012

Tiga Tujuh Dua Enam mdpl (end part)



.......

Pfuuuhhh…. Berulang kali saya mencoba menarik-membuang napas panjang.
“Ok mbak.. coba kita ulang. Kita naik lagi ke jalur sblumnya, memastikan jalurnya.”
Dua kali diulang, tetep sama, tetep ketemu jurang.
Pikiran semakin dan semakin berantakan. Tubuh saya pun semakin lelah. Kembali saya mencoba tenang, dan tentu saja berdoa.

“Mbak,, mungkin sebelah sini. Agak susah sih emang naiknya, tapi kita coba aja.”
Yaaa… kami melupakan jalur ini. Lumayan menanjak. Saya pun melangkah ke atas.

Daaaaaaaan… jujur saya seperti melihat malaikat.
Aaahh.. mungkin seperti berlebihan. Tapi di tengah badai, di gunung sperti ini, di jalan yang tersesat, menemukan orang lain ada di tengah kita itu benar-benar menambah energy :D
Mas Bayu, mas Arsyan (temen setimnya mas Haekal) muncul di depan saya.
Dengan spontan saya melambaikan tangan dan berteriak. “aaahh… mas Bayuuuuu..!!! mbak Dian,, ada mas Bayu.”

“lhoo… kalian turun juga?” mbak Dian memulai percakapan.
“Iyya... Fisik mungkin ok kalo dipaksa, tapi cuacanya yang ga ok nih. Ga usah dipaksain lha sampe puncak dengan cuaca begini. Trus kalo udah sampe puncak, ngapain? Waaa... gue sampe puncak. Udah gitu aja. View nya juga cuma kabut. Tapi blom lagi perjuangan turunnya dengan kondisi badan yang udah ga fit.” Mas Bayu berkomentar.
“waaa… bener juga lo Bay.” Mbak Dian malah ikut membenarkan.
Yaaa… Mas Bayu mungkin ada benernya. Ga sampe puncak bukan berarti kita gagal. Sampe Puncak juga bukan berarti kita hebat :)

Finally… mas Arsyan menemukan jalur selanjutnya. Kesasar berjamaahnya pun usai sudah :D
Tak lama kami berlalu dari jalur yang menyesatkan tadi, kami mendengar teriakan memanggil mbak Dian. Dan ternyata teriakan berasal dari mbak Nina.
Kami pun memperlambat langkah. Adalah mbak Nina, mbak Lia, Adhi, dan mbak Indri yang berada di belakang kami.
“lhooo… kok pada turun juga?” mbak Dian heran. Begitu juga dengan saya.
“cuacanya ga memungkinkan gini. Bahaya juga. Kita sepakat buat turun deh. Cuma Hamzah sama Endah tuh yang masih nyoba sampe puncak.” Mbak Indri menyahut.
“waaaa…. Keputusan Adin emang tepat yaaa… jadi malah ikut turun semua… hahaha…” mbak Dian  kegirangan semuanya gagal muncak.  Hahahaa.. ada-ada aja.

Sekitar pukul 3 lebih waktu setempat,  akhirnya kami sampai kembali di Pelawangan.Segera langsung berbenah diri, dan menghangatkan tubuh.
Hmm.. sekitar sejam lebih sejak kami tiba di tenda, mbak Endah dan Hamzah pun sampai kembali di tenda. Dan ternyata mereka juga tidak sampai ke puncak. Hamzah hipotermi. Maka dengan segala keberatan hati summit tak dapat diwujudkan. Hanya mas Haikal yang berhasil sampe puncak.
Saya tau ada raut kecewa dari ketidakberhasilan muncak ini. Yaa… saya lebih suka menyebutnya tidak berhasil daripada gagal :) Karena buat saya orang yang gagal adalah orang tidak pernah mencoba. Tapi kami,, kami sudah mencoba dan berusaha semampu dan semaksimal mungkin. Hal ini tentu bisa dikatakan lebih dari sekedar berhasil (menurut saya). Karena keberhasilan itu ditentukan dari sejauh mana dan sekuat apa kamu berjuang.

Dan waktu terus berjalan… terang berganti gelap. Kami memutuskan untuk bermalam lagi di Pelawangan, dan memutuskan untuk turun ke Danau Segara Anak esok hari. Cukup sudah kelelahan hari ini. Waktunya istirahat. Tapi sebelumnya diselingi canda tawa di tenda. Curcol dan obrolan saya bersama Adhi dan Hamzah di tenda 1. Kmudian ibu-ibu lainnya menggosip di tenda sebelah :D

Adhi bilang : “Heran deh ngeliat perempuan ini yaaa… ada aja yang dibahas.. Nanti belum siap satu pembahasan, pasti udah bahas yang laen.”
Saya dan Hamzah tertawa.
Dan saya..?? Ya… anggap saja malam ini saya berpihak dengan Adhi dan Hamzah. Melupakan gender saya. Hahaha…

Tak hanya antara kami, beberapa pendaki asal Makassar tiba-tiba datang berkunjung. Sekedar berkenalan, berbagi cerita. Dan selanjutnya pendaki dari Makassar ini sukses kita panggil mas-mas Makassar krn kita ga hapal namanya..hihihi... Dan yang diinget dari mas-mas Makassar ini adalah ikan asin nya. Hahaha… yaaa.. masakan ikan asin mereka sukses menggiurkan kami. Terutama tim ibu-ibu (tapi tidak termasuk saya :D)


Selasa, 15 Mei 2012
Lagi-lagi kebiasaan ibu-ibu rempong ini yaaa… packing aja lama :D
Dan hari ini kami bersiap menuju Danau Segara Anak. Packing pun berlangsung sejam lebih. Jadwal turun pun meleset dari perkiraan. Kesiangan >.<

Danau Segara Anak sudah terlihat dari tempat kami nge-camp. Dan perkiraan harusnya tidak butuh waktu lama untuk sampai disana.
Tapi kenyataannyaaaaa… kami harus jalan memutar. Yaaa.. karena memang seperti itu jalurnya. Mungkin kalo bisa merosot dari Pelawangan, udah merosot aja deh biar cepet sampe. Aaahh… khayalan bodoh :D

Langkah kembali diayunkan. Jalur awal masih aman, dan kami berpapasan dengan tim bapak-bapak bersepeda (ketemu mereka adalah bonus. Sekumpulan bapak-bapak bersepeda ke Rinjani. Salut.)

- salah satu dari beberapa pendaki bersepeda -

Semakin menurun, jalur semakin arrgghh... kembali membuat frustasi. Jalur yang dilewati adalah jalur berbatu, harus ekstra hati-hati. Dan tak jarang kaki terselip karena pijakan ke batu tak stabil. Tak jarang pula tubuh harus terduduk, menggerakkan tubuh seperti mengesot demi menuruni bebatuan, keril pun tersangkut sesekali.

Jalur berbatu ini cukup panjang.. bahkan hampir 80% jalur Pelawangan – Segara Anak seperti ini. Hanya kekuatan hati yang bisa menguatkan saya untuk tetap melangkah. Bersyukur di kanan kiri terhampar pandangan yang memanjakan mata, sedikit dapat menghilangkan rasa lelah yang mulai terasa. Bukit, pepohonan, rerumputan, dan bahkan pucuk-pucuk edelweiss menemani perjalanan menuju Segara Anak.

Semakin mendekati Danau Segara Anak, jalur membaik. Adalah tanah yang mulai dipijak. Ada beberapa jembatan yang kami lewati. Jalan mulai melandai. Dan kami lagi-lagi berpapasan dengan tim mas Tege.
Hmm.. disini ada adegan melepas kangen antara mbak Indri dengan tim mas Tege (begitu katanya :D) Tapi saya tau lebih dari itu. Apapun itu,, berpapasan dengan mereka membangkitkan semangat saya kembali. Sekedar ngobrol ngalur ngidul sampai foto-foto sejenak pun dilakukan.

- with temen2 rombongan mas Tege -

 Hari sudah semakin sore. Danau Segara Anak semakin terlihat. Tapi justru langkah saya semakin melambat. Yaaa… kaki saya sepertinya sudah sampai pada titik kelelahan. Dan yang menemani saya saat ini adalah Adhi. Perlahan tapi pasti saya melangkah. Mungkin Adhi udah gerah pengen nyusul, tapi mana mungkin tega. Hihihi… anyway… thanks Adhi ^_^

17.00 WITA saya akhirnya sebagai peserta terakhir yang sampai di Segara Anak, disusul tim nya mas Haekal.

Hai Danau Segara Anak.

Saya pun menikmati sore yang berbeda. Wudhu dengan air danau, mengabadikan gambar, sampai melihat para pendaki memancing. Adhi dan Hamzah yang niat mancing malah ga jadi mancing. Yang ada malah memancing dengan duit a.k.a beli ikan dari porter yang mancing :D

- hai, Segara Anak :) -

Kegiatan sore pun dilanjutkan dengan nyebur ke air panas. Yaaa… di sisi lain Segara Anak, ada aliran air panas. Mbak Endah dengan semangat mengajak yang lain untuk ikutan. Maka bersama Adhi, Hamzah, mbak Indri, mbak Dian, dan Achie, mereka menuju lokasi yang dimaksud. Sementara mbak Nina dan mbak Lia lupa daratan karena terlalu asik dengan kamera masing-masing hingga ga sadar kalo udah ditinggal yang lain :D Sedangkan saya, memutuskan untuk tetap di tenda karena kaki yang masih tak bisa diajak kompromi.
Langit mulai gelap. Saatnya makan malam. Dengan ikan hasil “pancingan” Adhi dan Hamzah. Makan malam ini adalah makan dengan menu termewah. Apalagi sore tadi mbak Lia dan yang lainnya sempat membuat sup buah. Ya.. . buah yang dibawa dari bawah kemarin belum ada kita sentuh. Maka dengan keahlian ibu-ibu ini, jadilah sup buah ala kadarnya. Nikmatnya Dunia :D

Duduk melingkar menghadap api unggun, malam ini sungguh menyenangkan. Mas Haekal dan kawan-kawan juga ikut nimbrung. Alunan gitar kecil mas Dion (temennya mas Haekal juga) menambah meriah malam ini. Cerita,, tertawa,, dan bernyanyi bersama. Sampai tak terasa waktu semakin larut. Dinginnya malam semakin terasa,, dan api unggun pun sudah saatnya padam, maka kami pun saatnya beristirahat. Mengumpulkan kembali energy untuk perjalanan esok hari.


Rabu, 16 Mei 2012
Matahari mengintip dari balik perbukitan yang mengelilingi Danau Segara Anak.  What a great morning..!! ^_^

- Pagi, Segara Anak :) -

Setelah sholat shubuh, kami semua turun ke danau sekedar hunting foto dan ngobrol. Masih juga bersama timnya mas Haekal. Secangkir kopi yang dibawa mas Bayu dan secangkir teh mas Arsyan sukses kami jarah dan dinikmati bersama. Indahnya kebersamaan… :)


 Oh iya… hari ini harusnya menjadi hari yang special. Harusnya ada momen yang lebih dari sekedar kami berfoto dan ngobrol. Kang Roni, harusnya kamu ada disini, memperingati hari ultahmu di Danau Segara Anak. Momen yang sangat kita nantikan. Kita pernah memimpikan apa yang akan terjadi disini jika saat ini tiba. Tapi, saya kini hanya sendiri menyadari momen ini. Saya hanya mendoakanmu di hari ini, dari sini, Danau Segara Anak. Sinyal tak ada,, jadi menghubungimu pun tak bisa. Yaaaa… saya menikmati momen ini sendiri, masih dengan seragam kebanggaan kita.. yang sejak sore kemarin saya tiba disini tidak saya ganti :D

Well… sekitar pukul tujuh lebih, kami memutuskan untuk menjelajahi kembali lokasi aliran air panas. Berhubung saya, mbak Nina, dan mbak Lia belum menikmati tempat itu. Tapi apalah daya, belum sampai setengah perjalanan, kaki saya ngilu. Masih berusaha dipaksa untuk melangkah, tapi ga berhasil. Dengan berat hati saya kembali ke tenda, istirahat. Perjalanan menuju Senaru nantinya masih panjang, jadi tak perlu dipaksakan untuk saat ini, pikir saya.

11.00 WITA kami melangkah meninggalkan Segara Anak.
Melewati aliran air yang arusnya mungkin tak seberapa deras, tapi dengan memanggul keril, cukup membuat langkah goyah. Saatnya bergandengan tangan agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan :)
Langkah demi langkah diayunkan. Tujuan kali ini adalah Pelawangan – Senaru. Beberapa menit langkah masih menyusuri pinggiran danau. Jalan landai, sedikit bebatuan, menanjak, menurun, yaaa… buat saya jalur ini masih bisa ditolerir.

Sampai di ujung jalur danau, jalan mulai menanjak. Dengan vegetasi rerumputan setinggi pinggang saya, dan beberapa pohon yang menjulang tinggi. Jalan setapak yang terus menanjak. Meski terus menanjak, sejauh jalur ini saya masih merasa ini lebih baik daripada 7 bukit penyiksaan dari arah Sembalun :D

Jalur masih terus menanjak, mulai ada bebatuan besar yang berarti langkah harus ekstra hati-hati. Kelelahan mulai datang. Saya pun akhirnya dipaksa untuk melepas keril oleh mbak Nina dan mbak Lia. Meskipun saya yakin saya masih kuat. Tapi bagi mereka wajah saya memucat dan dengan jalur yang terus seperti ini tak perlu memaksakan diri.

Saya pun akhirnya memasrahkan diri melepas keril dan menyerahkannya ke Hamzah. Di satu sisi melangkah tanpa keril memang lebih baik dan nyaman buat saya, tapi di sisi lain saya lagi-lagi merepotkan orang lain. Aaaahh… >.<

Sekitar pukul setengah 1 lebih kami sampai di jalur landai. Dan cukup luas untuk beristirahat sejenak. Disini sudah ada tim bapak-bapak bersepeda yang kami temui kemarin. Jadwal mereka makan siang, sedangkan kami cukup menikmati sepotong coklat, karena tak punya waktu banyak untuk istirahat.

Perjalanan kembali di lanjutkan. Sampai pada satu titik, jalur ekstrim di mulai. Saatnya rock climbing :D jalur dengan sudut hampir 90 derajat. Yaaa.. disini sudah ada mas Haekal yang dengan langkah seribunya sudah sampai duluan di jalur ini. Kembali menjadi hero :) , mas Haekal membantu kami melewati jalur ini. Jalur yang harus ekstra hati-hati melewatinya. Thanks bro Haekal ^_^



Jalur masih terus menanjak, view Segara Anak dan Gunung Baru Jari di bawah sana masih jelas terlihat. Dan merupakan obat ketika saya sudah merasa begitu lelah. Indah sekali ^_^

- jalur paska longsor -

Jalur paska longsor beberapa bulan lalu pun kami lewati. Wow… jujur memang cukup mengkhawatirkan lewat di jalur ini. Saya abadikan lokasi ini sejenak.
“Din… kamu kalo mau foto agak kesana lagi deh.” Mbak Dian tiba-tiba nyeletuk.
“Hah..?? kenapa?” saya menjawab bingung.
“Ini yang bekas longsor lhooo… takutnya nanti… ngeri ih…”
“Iya..sini-sini.. geser kesini.” Mbak Lia menambahi dan menyuruh saya bergerak dari tempat saya berdiri saat ini.

Ya..ya..ya.. saya ngerti maksud mbak Dian dan mbak Lia.
Aura tempat ini memang… ah.. ntahlah.. Tapi saya tak berpikir sampai sejauh itu. Yaaa… Semoga Tuhan terus melindungi kami.
Kembali menemui jalur berbatu curam yang memaksa kami kembali merangkak, bahkan memanjat. Rinjani… luar biasa. Complete trek. Tanah, savana, tanjakan, turunan, bukit, pasir, air, sampai batu, semua ada disini.

14.00 WITA kami akhirnya tiba di Pelawangan – Senaru.
Tanah berumput terbentang luas. Cukup untuk sekedar kami meluruskan kaki. Menikmati coklat, keju, dan biskuit. Dan cukup kaget ternyata sampai di lokasi ini ada yang jualan. Tapi harganya luar biasa sekali sodara-sodara. Untuk sebotol coca-cola kecil dihargai 25 ribu. Whaaatt..??  yaaah.. kalau dibandingkan dengan jalur yang harus dilewati mencapai lokasi ini emang sesuai sih. Tapi tetep aja bikin kaget. Dan tentu saja target pasar warung-warung ini adalah para turis manca Negara. Karena terbukti jalur ini banyak dilewati bule.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Dan tak jarang kami berpapasan dengan bule. Jalur Senaru-Pelawangan sepertinya menjadi jalur favorit para bule.
Jalur kini mulai menurun. Perjalanan kembali ditemani padang rumput, meski tak seindah jalur Sembalun-Pelawangan. Dan langkah saya kembali melambat. Bahkan lambat sekali. Ngilu. Kaki saya terasa sangat ngilu ketika langkah diayunkan. Oh Tuhan… sakitnya benar-benar tak bisa diajak kompromi. Trekking pull mbak Nina pun dihibahkan ke saya. Dan cukup membantu meskipun kecepatan langkah saya tak bertambah T___T

Saya jalan terseok-seok saat ini. Adalah mbak Dian dan Adhi yang menemani saya sore ini. Bolak-balik goyah dan hampir jatuh, mbak Dian yang memapah saya. Aaahh.. kali kedua mbak Dian dan Adhi ada disamping saya dengan setia. Terharu :’)

Langit sudah mulai tak terang. Ah… langkah saya menghambat perjalanan. Mungkin harusnya kami sudah sampai pos 2, dan bermalam disana untuk menghemat waktu ketika turun menuju Senaru. Tapi apalah daya, karena saya jalan terseok-seok, kami harus menghabiskan malam di pos 3. Saya, mbak Dian, dan Adhi sampai di pos 3 jam 17.30 WITA. Tak berapa lama,, terlihat sunset nan indah dari lokasi ini. Dan tentu saja tak bisa dilewatkan :)

- senja dari pos 3 Senaru -
 
Setelah sunset, langit pun menyuguhkan bintang yang luar biasa banyaknya. Yaa… ini lah malam terakhir kami di gunung. Tapi malam ini cukup dinikmati sebentar saja, karena kami harus segera istirahat mengingat besok pagi harus berangkat pagi-pagi buta agar sampai Senaru tidak kesorean.


Kamis, 17 Mei 2012
05.00 WITA kami semua sudah melek. Segera beres-beres. Sembari ditemani teh panas, tenda mulai dirubuhkan, packing dimulai.
Dan demi memanfaatkan waktu yang ada, packing pun disambil dengan sarapan. Saya, mbak Indri, dan mbak Lia yang sudah lebih duluan membereskan keril masing-masing mengambil posisi layaknya seorang ibu pagi ini. Menyuapi anak-anaknya :D

07.30 WITA semuanya beres… perjalanan siap dilanjutkan.
Jalur kali ini cukup bersahabat. Memasuki hutan, dan kami hanya butuh mengikuti jalur setapak yang menurun.

09.30 WITA Pos 2, we’re coming.
Beristirahat cukup lama di pos 2. Hamzah dan Adhi bertugas mengambil air di sumber air beberapa ratus meter di bawah pos 2. Mengingat air yang kami bawa dari pos 3 berasa aneh. Begitu ketemu sumber air disini, langsung saja mengggantinya dan mengisi penuh semua botol minuman yang ada.  Sedangkan ibu-ibu lainnya malah “nabung” berjamaah :D yang kebetulan di pos ini tersedia bilik tertutup untuk sekedar “menabung” hajat yang sudah ditahan ntah sejak kapan :D
Cukup sudah selonjoran disini. Perjalanan kembali dilanjutkan. Dan kali ini, dengan langkah saya yang masih terseok-seok, saya ditemani Hamzah dan mbak Dian. Kali kesekian mbak Dian bersama saya. Aaahh.. mbak Dian. Sosok yang baru saya kenal,, tapi sangat membantu dan berarti buat saya. Sabar sekali menemani saya. Lagi-lagi saya terharu. Mengobrol sepanjang perjalanan, bertukar cerita hidup, tertawa, maka perjalanan pun menjadi tak terasa sudah sampai di pos selanjutnya.

11.30 WITA kami tiba di pos 1. Yaps… tujuan sudah smakin dekat.
12.30 WITA kami tiba di Pintu Senaru. Aaahh… akhirnya sampai. Eh tapiii… ternyata belum, kami harus menempuh jarak sekitar 2,5 km lagi untuk sampai di dunia luar sebenarnya -__-“
Salah  perkiraan.

Masih dengan langkah gontai saya terus melangkah. Pelan tapi pasti. Dan ketika jam tangan saya menunjukkan pukul 13.30 WITA, saya akhirnya sampai di Information Center Taman Nasional Gunung Rinjani, Senaru, lagi-lagi sebagai peserta terakhir.

Finally… 5 hari 4 malam, terlewati sudah.
Mengistirahatkan diri sejenak di Bale Bayan Senaru – warung makan yang ada di sekitar lokasi pos Registrasi Senaru. Mie Instant rebus plus telur yang saya idamkan sejak sehari lalu langsung jadi menu makan siang saya hari ini.
Hari sudah semakin sore. Saatnya melanjutkan perjalanan. Ke destinasi selanjutnya.
Tapi sayangnya destinasi selanjutnya tak dapat kami lalui bersama. Saya dan Achie memutuskan akan ke Bandung esok harinya. Sedangkan yang lainnya akan melanjutkan perjalanan ke Gili Kondo. Ah… sesungguhnya saya ingin sekali ikut bersama mereka. Tapi kembali saya harus membuat pilihan. Mengambil keputusan. Dan saya rasa keputusan ini adalah keputusan terbaik.
Kembali,,, kamipun lagi-lagi merepotkan timnya mas Haekal. Saya dan Achie yang awalnya bingung akan bermalam dimana hari ini, akhirnya ikut timnya mas Haekal untuk melanjutkan perjalanan ke Gili Trawangan. Yaaa.. sekedar menghabiskan malam di Trawangan, dan esok paginya akan ke Mataram, lalu ke Bandara bersama mas Arsyan, yang kebetulan juga akan balik ke Jakarta duluan dibanding mas Haekal dkk.

Saatnya berpisah dengan mbak-mbak saya >> mbak Dian yang paling sabar dan lucu, mbak Lia yang pendiem dan kecil seperti saya :) , mbak Nina yang jawa abis, mbak Indri yang ceplas-ceplos, dan mbak Endah yang rela direpotin ketika tiba-tiba saya, Achie dan Hamzah ngikut nimbrung di timnya ,, dan lelaki terbaik dan terhebat selama perjalanan Adhi – Hamzah ^_^

Terimakasih Tuhan untuk perjalanan ini. Petualangan ini.
Terimakasih kepada kalian untuk perjalanan ini. Petualangan ini. Kepada kalian teman seperjalanan, dan juga kepada kalian yang ada dalam semangat dan hati saya sampai akhirnya saya dapat menyelesaikan perjalanan ini.

Perjalanan terjauh,, dan Petualangan terhebat bagi saya.
Terimakasih untuk semuanya. Apapun itu. Dan maaf untuk apapun, hal yang mungkin merepotkan dan tersakiti.

Perjalanan Hati, Rinjani, 3726 mdpl, 13-17 Mei 2012

Kamis, 05 Juli 2012

Tiga Tujuh Dua Enam mdpl (part 2)



.......
Mbak Endah yang saya tau cukup berpengalaman soal naik gunung terlihat melemah. Langkahnya mulai gontai. Apalagi saya yang tak ada pengalaman sama sekali. Dia sempat menyuruh saya jalan duluan karena dia kelelahan. Tapi saya memutuskan untuk berjalan beriringan dengannya. Apalagi hari semakin gelap. Dan bodohnya saya , saya tak membawa senter. Niat beli senter waktu di pasar malah kelupaan >.<

Waktu untuk berhenti dan isitirahat saya rasa lebih banyak daripada langkah kami menyusuri 7 bukit penyiksaan ini. Yaaa… 7 bukit ini benar-benar menyiksa.

Dan akhirnya matahari menghilang berganti gelapnya malam. Hujan masih saja mengguyur. Basah. Dari ujung kepala sampai kaki basah sudah. Saya pasrah dan tetap melangkah. Tak ada tempat dan tak ada waktu untuk berteduh. Tubuh pun menggigil sejadi-jadinya.

“Pak masih jauh ya?” Tanya mbak Endah pada porter yang melintas.
“1 bukit lagi mbak. Di atas sana udah Pelawangan kok.” Jawab pak porter lalu berlalu.

Aaahh… baiklha… sedikit lagi pikir saya. Saya langsung membayangkan akan ada hamparan tenda-tenda pendaki di atas sana, dan tentu saja tenda kami pasti sudah berdiri, mengingat Adhi dan bbrp lainya sudah sampai duluan. Saya hanya ingin segera sampai, masuk tenda, berganti pakaian, dan menyeruput teh. Khayalan semakin menjadi-jadi.

Sampai tiba-tiba kami bertemu seorang lelaki. Sebut saja mas Mulekat (begitu mbak Endah menyebutnya karena kami tidak sempat berkenalan dengannya ^_^). Ketika kami berisitirahat sejenak, dia pun istirahat. Dia sendirian. Tapi menurut pengakuannya, temannya masih di bawah. Dan dia naik Rinjani dari bawah cuma pakai sandal jepit. What..?? hebat. dan dengan berbaik hati dia berbagi coklat dengan kami. Aahhh… rezeki emang ga kemana. Di tengah udara dingin begini, coklat lumayan untuk mengisi perut yang mulai ga bisa kompromi.

Udara dingin masih menusuk. Istirahat ga bisa lama-lama kalau ga mau mati kedinginan. Tubuh harus terus bergerak. Dan perjalanan pun dilanjutkan. Satu bukit lagi. Dan asupan coklat barusan cukup menambah energy :)

Di tengah gelapnya malam, dan hanya berbekal 1 headlamp mbak Endah, kami meraba jalan. Dan beberapa kali saya sempat terpeleset. ''Aduh, Aw, Mbak En …" Tiga kata yang berulang-ulang keluar dari mulut saya ketika jalan mulai tak stabil.

Finally… jalan mulai melandai. Kami sampai di Pelawangan. Mulai terlihat cahaya-cahaya kecil yang berasal dari tenda para pendaki. Alhamdulillah… berasa nemu surga (lagi-lagi ga berlebihan). Berarti sudah sampai, saatnya mencari tenda tim kami.

“Mbak Dian, Mbak Indri, Adhi, Mbak Lia..!!”
Satu persatu nama temen-temen kami teriaki. Mencari tau dimana tenda kami berdiri.
Tapi tak ada sahutan. Coba lagi.
“ Mbak Dian, Mbak Indri..!!”
“Iya…”
Aahh.. ada sahutan. Mulai mencari darimana arah suara.
“Iya.. disini Indri..”
“ Mbak Indri…” ahh… ketemu. Dan saya mulai bernapas lega.
“Tenda kita dimana..?” Tanya mbak Indri.
“Lho… kan kalian yang jalan duluan mbak. Gimana toh?” saya mulai bingung.
“ iyaaa.. ini aku di tenda orang lho. Aku kedinginan tadi,, jadi nimbrung kesiini. Aku ga tau Adhi dan yang lainnya dimana.” Jawab mbak Indri dari dalam tenda.

Yaaa.. ternyata mbak Indri ntah bagaimana ikut dengan tim pak Joko (bapak yg sudah beberapa kali berpapasan dengan tim kami sejak dari bawah).
Pfuuhh… Panik pun singgah lagi. Dari bersembilan, yang keberadaannya jelas saat ini hanya kami bertiga.
“Mungkin temen-temennya masih ke atas lagi mbak. Di atas kan ada tempat ngecamp juga.” Pak Joko tampaknya berusaha menenangkan kami.
“ hah..?? ke atas lagi..?” jujur saya sudah ga kuat sebenarnya. Dan malah di camp ground ini kami tidak menemukan apa yang kami cari. Oh GOD..!! >.<
“Ya udah, kita coba cari yang lain dulu ya mbak, kamu disini aja dulu.”
Setidaknya kami sudah menemukan mbak Indri, dan dia aman. Maka saya dan mbak Endah pun melanjutkan perjalanan mencari keberadaan Adhi, mbak Lia, dan mbak Dian.

Dan eh… kami menyadari si mas Mulekat sudah menghilang. Kami lupa mengucapkan terima kasih. Terima kasih untuk cokelatnya, terima kasih sudah mem-back up kami sampai ke Pelawangan dan bertemu mbak Indri.
Yang pasti dia orang kan yaaa.. atau jangan-jangan beneran Malaikat. Aaahh… tak usah dibayangkan sampai sebegitu jauh sepertinya :)

Kembali menyusuri malam. Mengikuti jalan setapak menuju cahaya yang berpendar dari kejauhan yang berasal dari tenda para pendaki lainnya. Dan… lho… kok cahayanya menghilang. Perasaan tadi arahnya bener ke arah sini. Saya dan mbak Endah terdiam.

“Bener kan mbak jalannya?” saya mulai panik lagi.
Perasaan jelas banget deh arahnya kemari. Kok malah jadi gelap yaaa… saya mulai bertanya-tanya.
“mungkin salah jalur deh din. Aku coba cari jalannya lagi deh. Adin disini aja ya. Ntar aku balik kalo udah nemu.”
Hah..?? saya mau ditinggal? Enggak deh. Biarpun sejujurnya saya amat sangat lelah, mending tetap terus bareng-bareng daripada berpencar lagi.
“Enggak mbak. Aku ikut..!! Aku masih kuat kok.” Saya mencoba meyakinkan mbak Endah.
Dan benar saja, ternyata jalan berbelok sedikit dan kami menemukan camp ground yang tadi sempat tak terlihat sejenak.

Pfuuuhh… saya kembali bisa bernapas lega.
Dan teriakan memanggil Adhi, mbak Lia, dan mbak Dian pun dimulai lagi.
Beberapa kali… “Adhiiii… Liaaaaa… Diaaaann…” mbak Endah coba berteriak.
“mbak Endaaaahh..!!”
Nah lho… kok malah ada yang nyaut manggil mbak Endah. Dan mbak Endah pun menyauti teriakan yang memanggil namanya. Kami berharap itu Adhi.
“Adhiiii…!!”
“bukaaaan..”
Lhooo.. apalagi ini…
“mbak.. itu siapa yang manggil kamu?” saya mulai bertanya-tanya. 
“ga tau din…”
“mbak Endah, disini kang Ay..!”
“ooohh…”
Maka kami pun mendekati arah suara berasal.
Kang Ay adalah anggota timnya mas Tege (yang sempat kami repotin mulai dari bandara kemarin :) ).
“masuk aja dulu mbak.. angetin badan, ngeteh dulu.” Kang Ay menawarkan kami masuk ke tendanya.
“enggak ah,, kita udah basah lho kang.” Masih mencoba menolak tawaran kang Ay, meskipun sejujurnya tawarannya rugi untuk ditolak :D tapi kalau boleh milih, saya sebenarnya ingin segera bertemu Adhi dan lainnya. Tenda sendiri pasti jauh lebih nyaman. Tapi tubuh yang menggigil ga bisa diajak kompromi.

“udah gak apa-apa… isitirahat sebentar.. nanti baru nyari temennya lagi.” tawaran kang Ay masih berlaku.
Maka tanpa ba bi bu lagi. Saya dan mbak Endah nyungsep ke tendanya kang Ay. Dan mereka baik luar biasa. Kang Ay merelakan selimutnya ke saya. Dan personil tenda lainnya - ada kang Nyot dan mas Locker – berbaik hati membuatkan teh dan kopi panas buat kami. Menyuguhi sebungkus biskuit. Aaahh… nikmat luar biasa :) . Saya yang masih kedinginan ternyata cukup terlihat jelas oleh mereka. Mereka pun merelakan kembali sleeping bag untuk saya pakai sekedar meredam dingin. Dduuhh… padahal baju basah begini. Tapi mereka tetep menjamu kami dengan ramahnya.

Tak lama kemudian mas Tege datang, dan info yang kami terima darinya cukup membuat kami dapat tersenyum lebar. Mas Tege sudah ketemu mbak Dian, Adhi dan mbak Lia. Dan dia tau dimana tenda kami berdiri. Karena mengetahui kami ada di tendanya, Mas Tege pun kembali menemui mbak Dian dan menginformasikan bahwa kami ada di tenda timnya.

Tak lama kemudian, mas Tege kembali ke tenda, lalu disusul mbak Dian dan mas Haikal (temen baru mbak Dian dan mbak Indri, ketemu waktu di bandara Ngurah Rai)… dan pertemuan kami cukup mengharu biru. Huwaaaa… akhirnya bisa kumpul lagi. Lalu, Mbak Dian pun menjemput mbak Indri yang masih ngadem di tenda pak Joko.

Eehh..tapi.. belum semuanya kumpul. Hamzah, Achie, dan mbak Nina masih belum sampai. Jam tangan saya menunjukkan pukul tujuh malam kalau tidak salah. Maka perasaan was-was muncul kembali. Tapi sesaat kemudian, terdengar teriakan memanggil Adhi dan mbak Endah, nah.. itu psti rombongan Hamzah. Yaa.. benar saja, Hamzah, Achi, dan mbak Nina pun sampai. Jadilah saat ini kami beramai-ramai nimbrung di tendanya mas Tege dan kawan-kawan.

Karena udara semakin tidak bersahabat, sementara baju basah parah. Maka saya, mbak Endah, dan mbak Indri memutuskan mengganti pakaian sebentar di tendanya Rian dan Tutu (temen setimnya mas Tege). Yaaakk.. maka malam itu, mas Tege dkk sukses kami repotkan. Terima kasih amat sangat banyak buat kalian. :’)

Semuanya sudah lengkap, Dadah-dadah dan say thanks ke mas Tege dkk,, Kami pun melanjutkan perjalanan menuju tenda kami yang sebenarnya. Di bantu mas Haikal (krn mbak Dian malah lupa jalan menuju tenda… owalah… hehehe) kami menyusuri jalan setapak menuju tempat yang dituju.
Alhamdulillah…. Sampai.
Saatnya berberes diri, makan malam, dan sleeping bag pun di gelar. Siap tidur. Dan rencana muncak dini hari nanti pun sepertinya akan batal. Ga kuat. Kami sudah terlalu lelah.


Senin, 14 Mei 2012
Dan benar saja… langit sudah terang ketika saya bangun. Jam tangan menunjukkan pukul lima pagi waktu setempat. Saya keluar tenda. Dan melihat beberapa pendaki turun dari arah puncak. Terlihat kang Nyot dan mas Locker.

“sampe puncak mas…?” teriak mbak Indri yang saat itu berdiri disebelah saya.
“enggak mbak… badai… daripada hipotermia, kita milih turun deh.”

Saya pun melihat ke sekeliling sejenak. Yaaa.. pagi ini langit memang tak berwarna selain warna putih. Berkabut. Matahari saja bersembunyi. Dan sesekali air langit terasa menyentuh kulit. Maka saya bisa membayangkan bagaimana di puncak sana kalau udara di Pelawangan saja sudah begini.

Summit attack totally failed. Itu yang terlintas di pikiran saya saat ini.
Tapi temen-temen yang lain meyakinkan saya semoga cuaca malam ini lebih baik sehingga kami bisa muncak. Pfuuh… jujur saja saya tak yakin. Udara spertinya benar-benar tak bersahabat.

08.00 WITA Kami kedatangan tamu :) mas Haikal datang dan menawarkan untuk muncak jam 10 pagi ini.
Haahh..?? tawarannya cukup menggiurkan sih. Setidaknya kami akan lebih save jika gabung dengan tim mereka. Kami 7 cewek, 2 cowok, dan tim mas Haikal keempatnya cowok.

Tapiiii… keyakinan saya masih goyah. Setau saya (hasil nonton acara tipi), muncak Rinjani itu sebaiknya dibawah jam 8 pagi. Di atas jam 8 cuaca di puncak berbahaya. Dan seketika pikiran saya kacau balau.
Mas Haikal pun meyakinkan bahwa gak ada masalah muncak pagi begini. Begitu info yang dia dapat dari bapak porter timnya.
Hmm… baiklah… saya pun ngikut.

09.30 WITA Persiapan… dan karena emang ibu-ibu yaaaa… lama deh prepare nya.. hihihihi… tau banget deh tim nya mas Haikal bosen nungguin kami :D

- Prepare yang memakan waktu ;) -

11.00 WITA langkah pertama menuju puncak pun diayunkan.
Berpapasan dengan tenda terakhir di camp ground, ada suara yang cukup menggoyahkan keyakinan. Berasal dari bapak porter disitu, “waaahh.. pendaki sekarang ekstrim yaaa… gila!!”
Kami Cuma tersenyum, tapi saya sempat menghentikan langkah, begitu juga dengan Achie dan mbak Lia. 

Hmm… mungkin ucapan bapak porter barusan semacam reminder bahwa muncak jam segini sangat tidak disarankan. Saya coba mengaitkan ucapan bapak porter dengan info dari tv yang pernah saya tonton.
Perlahan saya melanjutkan langkah, menengadahkan kepala, diatas sana sudah ada mas Haikal, mbak Endah, mbak Indri, mbak Lia, Adhi. Baiklah… sepertinya tidak ada salahnya mencoba. Cuaca juga sepertinya sudah membaik.

Langkah pun dilanjutkan kembali. Berpapasan dengan beberapa pendaki yang turun. Dan ketemu lagi dengan kang Ay dan mas Tege. Ngobrol sebentar, dan warning dari mereka untuk lebih hati-hati, karena meski cuaca dibawah aman, semakin ke puncak akan ada badai. Saya sempat kembali goyah, tapi hati saya berontak untuk terus berjalan, meyakinkan diri bahwa saya bisa sampai puncak. Tapi Achie... smpat terdiam cukup lama dan akhirnya memutuskan turun, kembali ke tenda. Dan Hamzah pun mengantarkan Achie.
Kami terus melanjutkan perjalanan. Trek pasir cukup buat frustasi. Naik 3 langkah turun 2 langkah. Ow my God. Cuaca pun tak stabil. Terang, gelap, hujan mulai turun, cerah kembali, gerimis.

- trek pasir -

 Saya tertinggal cukup jauh. Saat ini hanya ada Adhi, mbak Nina, dan mbak Dian.
Setiap ada kesempatan beristirahat, saya selalu menengadah ke atas, dan melihat ke bawah. Perang batin. Keyakinan saya bolak-balik goyah, antara melanjutkan perjalanan ke puncak atau turun kembali ke tenda. Apalagi cuaca tak menunjukkan ada kemungkinan ke arah membaik. Sepanjang jalan ditemani kabut, angin dan hujan kecil. Tapi kalau saya turun, saya turun sama siapa?? Nanti nyasar lagi. Perang batin tak kunjung usai.

- saya yang tertinggal jauh -

2 jam perjalanan, langkah saya melambat. Saya mulai sangat frustasi, amat sangat lelah, jantung bolak-balik berdetak tak biasa, perasaan ga karuan. Saat ini saya hanya berharap masih ada pendaki yang turun dari puncak, dan saya akan ikut turun. Tapi kenyataannya sampai 1 jam berlalu, tak tampak ada pendaki yang turun. Yaaa… sepertinya tim kami adalah rombongan terakhir yang muncak hari ini.

Sekujur tubuh basah sudah, saya kedinginan, menggigil. Begitu ada batu yang cukup besar, saya pun berlindung di baliknya sekedar menghalau angin yang terus berhembus. Cukup lama saya terdiam, berpikir. Seketika memori otak saya memutar ulang semua perjuangan dan pengorbanan saya sampai ke titik ini.

Impian, Doa, Hidup, Tuhan.

Mulai terasa sesak. Perlahan air mata mulai mengalir. Saya tertunduk, mencoba menepisnya. Saya ga mau mbak Dian, mbak Nina, dan Adhi yang saat ini bersama saya khawatir jika melihat saya menangis.

“mbak, saya turun.”

Kalimat ini pun akhirnya terlontar dari mulut saya. Sesungguhnya berat sekali mengucapkan kalimat ini. Tapi saya hanya tidak mau semuanya berakhir konyol. Saya sudah berjuang, Tuhan hanya memberi saya kekuatan sampai disini. Syukuri itu. That’s it. Puncak bukanlah segalanya, perjuangan saya dan makna hidup yang saya peroleh dari perjalanan ini merupakan hal yang lebih berharga.

“hah..!! Yakin din..?” mbak Dian spertinya masih tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“kamu pasti bisa kok. Ayo dong… sedikit lagi.. nyampe puncak pasti cuaca cerah deh.. tuh lihat..” mbak Dian menunjuk ke arah langit puncak, yang benar saja seketika saya melihat lagit biru awan putih terhampar indah di atas sana.

“eh Iya… ayo..ayo..” mbak Nina pun berusaha men-supprot saya.
“Yakin mbak… saya turun..” suara saya mulai tak stabil… kembali air mata ingin tumpah.
Keputusan ini sudah saya ambil. Dan saya yakin saya harus turun. Tidak ada tawar menawar.

“Ya udah.. turun bareng aku.” Kata mbak Dian.
“hah..?? Enggak mbak, ga usah. Saya turun sendiri aja.” Saya sudah mengambil keputusan, maka saya harus tanggung resikonya. Saya harus siap turun sendiri. Saya yakin saya bisa, ga pake nyasar :). Lagi pula saya ga mau merasa bersalah, kalau karena saya mbak Dian malah ga jadi muncak.  
“Enggak,, kamu turun saya yang temeni. Emang kamu yakin turun sendiri?”
Ucapan mbak Dian cukup buat saya terdiam dam berpikir ulang.
“udah gak apa-apa, aku temeni.” Kalimat mbak Dian meyakinkan saya.
Saya pun mengangguk dan turun bersama mbak Dian. Sedangkan Adhi dan mbak Nina melanjutkan perjalanan menuju puncak.

“Aku yakin kamu bisa lho Din, kenapa nyerah..??” mbak Dian masih mencoba memompa semangatku untuk muncak.
“ Mbak,, maaf sudah membuat mu ga sampe puncak… maaf yaaa… tapi apa yang udah aku putusin ga akan bisa aku tarik lagi. Perasaanku ga enak mbak. Aku tau kemampuanku cuma sampai disini.” Saya mengucapkan kalimat itu dengan perasaan yang masih berantakan. Masih pengen nangis.

Sampai tiba-tiba Hamzah muncul. Cukup mengagetkan. Karena tadi dia mengantar Achie ke tenda, dan bilang ga ikut muncak. Tapi iniiiii… dia muncul. Waduuu… kalo dipikir-pikir cepet bgt langkah ini anak.

Dan begitu Hamzah muncul di hadapanku.
“Hoiii…!!” teriaknya. “Lho… mau kemana..?” Tanya nya heran.
“Turun… Adin mutusin turun nih.” Jawab mbak Dian.
Saya mengangguk, sedikit tersenyum ke Hamzah, lalu seketika tangisku pecah. Mbak Dian mengelus pundakku menenangkan.
“eh… iyaa.. udah… udah.. udah hebat lha kau ini udah sampe titik ini. Toss dulu..!!” Hamzah mencoba menghibur.
Masih dalam kondisi berlinang air mata, saya pun menyambut tangan Hamzah untuk ber-toss ria ^_^
“Ya udah.. hati-hati kalian yaaa… aku anter jaket mbak Endah dulu nih,, nanti aku susul kalian turun. Kasian dia, tadi jaketnya malah aku bawa turun.”

Saya dan mbak Dian mengangguk dan melanjutkan perjalanan turun.
“Din, kamu masih inget jalannya kan..? aku ini payah kalo inget jalan.”
Nah lho… si mbak Dian mau nemeni saya turun malah ga inget jalan turun. Hahaha… saya sempet kaget denger pertanyaannya. Tapi memang… yang penting itu adalah tidak sendiri di tengah situasi seperti ini. Kalopun nyasar, ya nyasar berdua. :D

“Insyallah mbak, liat aja bekas jejak sepatu di pasirnya.”
Dan jawaban saya tak cukup meyakinkan sebenarnya. Tapi mencoba tak ada salahnya.
Kamipun terus melangkah turun. Jalan turun memang lebih gampang dari naik. Kami tinggal memasrahkan pijakan kaki ke pasir, dan srooott…sroooott… kami meluncur seperti main ski :D
Tapi akibatnya…. Tak jarang membuat kami terjatuh. Apalagi mbak Dian,, ntah sudah berapa kali terjatuh. Aaahh… rasa pasir menyentuh kulit lumayan juga. Sakit.

“Lho… ini…” mbak Dian menghentikan langkahnya. Celingak-celinguk mencari jalan selanjutnya.
Yaaa… saat ini, yang terlihat di depan kami adalah jalan curam dan bahkan jurang. Jalan terputus.
“Tapi bener kok mbak ini jalan yang tadi kita lewati.” Saya coba mengingat kembali.
“Iya sih.. dari awal juga udah bener. Tapi bagian yang ini tadi gak ada kan? Gak ada jalan curam kayak gini.” Mbak Dian spertinya mencoba menganalisa.
Saya terdiam sesaat, melihat sekitar, mencoba mencari jalan keluar dari titik ini. Menggigil. Yaaaa… saya semakin menggigil. Pikiran semakin berantakan. Tapi saya mencoba menepis segala pikiran buruk.


-- to be continued --