.......
Mbak Endah
yang saya tau cukup berpengalaman soal naik gunung terlihat melemah. Langkahnya
mulai gontai. Apalagi saya yang tak ada pengalaman sama sekali. Dia sempat
menyuruh saya jalan duluan karena dia kelelahan. Tapi saya memutuskan untuk
berjalan beriringan dengannya. Apalagi hari semakin gelap. Dan bodohnya saya ,
saya tak membawa senter. Niat beli senter waktu di pasar malah kelupaan
>.<
Waktu untuk
berhenti dan isitirahat saya rasa lebih banyak daripada langkah kami menyusuri
7 bukit penyiksaan ini. Yaaa… 7 bukit ini benar-benar menyiksa.
Dan akhirnya
matahari menghilang berganti gelapnya malam. Hujan masih saja mengguyur. Basah.
Dari ujung kepala sampai kaki basah sudah. Saya pasrah dan tetap melangkah. Tak
ada tempat dan tak ada waktu untuk berteduh. Tubuh pun menggigil
sejadi-jadinya.
“Pak masih
jauh ya?” Tanya mbak Endah pada porter yang melintas.
“1 bukit
lagi mbak. Di atas sana udah Pelawangan kok.” Jawab pak porter lalu berlalu.
Aaahh…
baiklha… sedikit lagi pikir saya. Saya langsung membayangkan akan ada hamparan
tenda-tenda pendaki di atas sana, dan tentu saja tenda kami pasti sudah
berdiri, mengingat Adhi dan bbrp lainya sudah sampai duluan. Saya hanya ingin
segera sampai, masuk tenda, berganti pakaian, dan menyeruput teh. Khayalan
semakin menjadi-jadi.
Sampai
tiba-tiba kami bertemu seorang lelaki. Sebut saja mas Mulekat (begitu mbak
Endah menyebutnya karena kami tidak sempat berkenalan dengannya ^_^). Ketika
kami berisitirahat sejenak, dia pun istirahat. Dia sendirian. Tapi menurut
pengakuannya, temannya masih di bawah. Dan dia naik Rinjani dari bawah cuma
pakai sandal jepit. What..?? hebat. dan dengan berbaik hati dia berbagi coklat
dengan kami. Aahhh… rezeki emang ga kemana. Di tengah udara dingin begini,
coklat lumayan untuk mengisi perut yang mulai ga bisa kompromi.
Udara dingin
masih menusuk. Istirahat ga bisa lama-lama kalau ga mau mati kedinginan. Tubuh
harus terus bergerak. Dan perjalanan pun dilanjutkan. Satu bukit lagi. Dan
asupan coklat barusan cukup menambah energy :)
Di tengah
gelapnya malam, dan hanya berbekal 1 headlamp mbak Endah, kami meraba jalan.
Dan beberapa kali saya sempat terpeleset. ''Aduh, Aw, Mbak En …" Tiga kata yang
berulang-ulang keluar dari mulut saya ketika jalan mulai tak stabil.
Finally…
jalan mulai melandai. Kami sampai di Pelawangan. Mulai terlihat cahaya-cahaya
kecil yang berasal dari tenda para pendaki. Alhamdulillah… berasa nemu surga
(lagi-lagi ga berlebihan). Berarti sudah sampai, saatnya mencari tenda tim
kami.
“Mbak Dian,
Mbak Indri, Adhi, Mbak Lia..!!”
Satu persatu
nama temen-temen kami teriaki. Mencari tau dimana tenda kami berdiri.
Tapi tak ada
sahutan. Coba lagi.
“ Mbak Dian,
Mbak Indri..!!”
“Iya…”
Aahh.. ada
sahutan. Mulai mencari darimana arah suara.
“Iya..
disini Indri..”
“ Mbak
Indri…” ahh… ketemu. Dan saya mulai bernapas lega.
“Tenda kita
dimana..?” Tanya mbak Indri.
“Lho… kan
kalian yang jalan duluan mbak. Gimana toh?” saya mulai bingung.
“ iyaaa..
ini aku di tenda orang lho. Aku kedinginan tadi,, jadi nimbrung kesiini. Aku ga
tau Adhi dan yang lainnya dimana.” Jawab mbak Indri dari dalam tenda.
Yaaa..
ternyata mbak Indri ntah bagaimana ikut dengan tim pak Joko (bapak yg sudah
beberapa kali berpapasan dengan tim kami sejak dari bawah).
Pfuuhh…
Panik pun singgah lagi. Dari bersembilan, yang keberadaannya jelas saat ini
hanya kami bertiga.
“Mungkin
temen-temennya masih ke atas lagi mbak. Di atas kan ada tempat ngecamp juga.”
Pak Joko tampaknya berusaha menenangkan kami.
“ hah..?? ke
atas lagi..?” jujur saya sudah ga kuat sebenarnya. Dan malah di camp ground ini
kami tidak menemukan apa yang kami cari. Oh GOD..!! >.<
“Ya udah,
kita coba cari yang lain dulu ya mbak, kamu disini aja dulu.”
Setidaknya
kami sudah menemukan mbak Indri, dan dia aman. Maka saya dan mbak Endah pun
melanjutkan perjalanan mencari keberadaan Adhi, mbak Lia, dan mbak Dian.
Dan eh… kami
menyadari si mas Mulekat sudah menghilang. Kami lupa mengucapkan terima kasih.
Terima kasih untuk cokelatnya, terima kasih sudah mem-back up kami sampai ke
Pelawangan dan bertemu mbak Indri.
Yang pasti
dia orang kan yaaa.. atau jangan-jangan beneran Malaikat. Aaahh… tak usah
dibayangkan sampai sebegitu jauh sepertinya :)
Kembali
menyusuri malam. Mengikuti jalan setapak menuju cahaya yang berpendar dari
kejauhan yang berasal dari tenda para pendaki lainnya. Dan… lho… kok cahayanya
menghilang. Perasaan tadi arahnya bener ke arah sini. Saya dan mbak Endah
terdiam.
“Bener kan
mbak jalannya?” saya mulai panik lagi.
Perasaan
jelas banget deh arahnya kemari. Kok malah jadi gelap yaaa… saya mulai
bertanya-tanya.
“mungkin
salah jalur deh din. Aku coba cari jalannya lagi deh. Adin disini aja ya. Ntar
aku balik kalo udah nemu.”
Hah..?? saya
mau ditinggal? Enggak deh. Biarpun sejujurnya saya amat sangat lelah, mending
tetap terus bareng-bareng daripada berpencar lagi.
“Enggak
mbak. Aku ikut..!! Aku masih kuat kok.” Saya mencoba meyakinkan mbak Endah.
Dan benar
saja, ternyata jalan berbelok sedikit dan kami menemukan camp ground yang tadi
sempat tak terlihat sejenak.
Pfuuuhh…
saya kembali bisa bernapas lega.
Dan teriakan
memanggil Adhi, mbak Lia, dan mbak Dian pun dimulai lagi.
Beberapa
kali… “Adhiiii… Liaaaaa… Diaaaann…” mbak Endah coba berteriak.
“mbak
Endaaaahh..!!”
Nah lho… kok
malah ada yang nyaut manggil mbak Endah. Dan mbak Endah pun menyauti teriakan
yang memanggil namanya. Kami berharap itu Adhi.
“Adhiiii…!!”
“bukaaaan..”
Lhooo..
apalagi ini…
“mbak.. itu
siapa yang manggil kamu?” saya mulai bertanya-tanya.
“ga tau
din…”
“mbak Endah,
disini kang Ay..!”
“ooohh…”
Maka kami
pun mendekati arah suara berasal.
Kang Ay
adalah anggota timnya mas Tege (yang sempat kami repotin mulai dari bandara
kemarin :) ).
“masuk aja
dulu mbak.. angetin badan, ngeteh dulu.” Kang Ay menawarkan kami masuk ke
tendanya.
“enggak ah,,
kita udah basah lho kang.” Masih mencoba menolak tawaran kang Ay, meskipun
sejujurnya tawarannya rugi untuk ditolak :D tapi kalau boleh milih, saya
sebenarnya ingin segera bertemu Adhi dan lainnya. Tenda sendiri pasti jauh
lebih nyaman. Tapi tubuh yang menggigil ga bisa diajak kompromi.
“udah gak
apa-apa… isitirahat sebentar.. nanti baru nyari temennya lagi.” tawaran kang Ay
masih berlaku.
Maka tanpa
ba bi bu lagi. Saya dan mbak Endah nyungsep ke tendanya kang Ay. Dan mereka
baik luar biasa. Kang Ay merelakan selimutnya ke saya. Dan personil tenda
lainnya - ada kang Nyot dan mas Locker – berbaik hati membuatkan teh dan kopi
panas buat kami. Menyuguhi sebungkus biskuit. Aaahh… nikmat luar biasa :) .
Saya yang masih kedinginan ternyata cukup terlihat jelas oleh mereka. Mereka
pun merelakan kembali sleeping bag untuk saya pakai sekedar meredam dingin.
Dduuhh… padahal baju basah begini. Tapi mereka tetep menjamu kami dengan
ramahnya.
Tak lama
kemudian mas Tege datang, dan info yang kami terima darinya cukup membuat kami
dapat tersenyum lebar. Mas Tege sudah ketemu mbak Dian, Adhi dan mbak Lia. Dan
dia tau dimana tenda kami berdiri. Karena mengetahui kami ada di tendanya, Mas
Tege pun kembali menemui mbak Dian dan menginformasikan bahwa kami ada di tenda
timnya.
Tak lama
kemudian, mas Tege kembali ke tenda, lalu disusul mbak Dian dan mas Haikal
(temen baru mbak Dian dan mbak Indri, ketemu waktu di bandara Ngurah Rai)… dan
pertemuan kami cukup mengharu biru. Huwaaaa… akhirnya bisa kumpul lagi. Lalu,
Mbak Dian pun menjemput mbak Indri yang masih ngadem di tenda pak Joko.
Eehh..tapi..
belum semuanya kumpul. Hamzah, Achie, dan mbak Nina masih belum sampai. Jam
tangan saya menunjukkan pukul tujuh malam kalau tidak salah. Maka perasaan
was-was muncul kembali. Tapi sesaat kemudian, terdengar teriakan memanggil Adhi
dan mbak Endah, nah.. itu psti rombongan Hamzah. Yaa.. benar saja, Hamzah,
Achi, dan mbak Nina pun sampai. Jadilah saat ini kami beramai-ramai nimbrung di
tendanya mas Tege dan kawan-kawan.
Karena udara
semakin tidak bersahabat, sementara baju basah parah. Maka saya, mbak Endah,
dan mbak Indri memutuskan mengganti pakaian sebentar di tendanya Rian dan Tutu
(temen setimnya mas Tege). Yaaakk.. maka malam itu, mas Tege dkk sukses kami
repotkan. Terima kasih amat sangat banyak buat kalian. :’)
Semuanya
sudah lengkap, Dadah-dadah dan say thanks ke mas Tege dkk,, Kami pun
melanjutkan perjalanan menuju tenda kami yang sebenarnya. Di bantu mas Haikal
(krn mbak Dian malah lupa jalan menuju tenda… owalah… hehehe) kami menyusuri
jalan setapak menuju tempat yang dituju.
Alhamdulillah….
Sampai.
Saatnya
berberes diri, makan malam, dan sleeping bag pun di gelar. Siap tidur. Dan
rencana muncak dini hari nanti pun sepertinya akan batal. Ga kuat. Kami sudah
terlalu lelah.
Senin, 14 Mei 2012
Dan benar
saja… langit sudah terang ketika saya bangun. Jam tangan menunjukkan pukul lima
pagi waktu setempat. Saya keluar tenda. Dan melihat beberapa pendaki turun dari
arah puncak. Terlihat kang Nyot dan mas Locker.
“sampe
puncak mas…?” teriak mbak Indri yang saat itu berdiri disebelah saya.
“enggak
mbak… badai… daripada hipotermia, kita milih turun deh.”
Saya pun
melihat ke sekeliling sejenak. Yaaa.. pagi ini langit memang tak berwarna
selain warna putih. Berkabut. Matahari saja bersembunyi. Dan sesekali air
langit terasa menyentuh kulit. Maka saya bisa membayangkan bagaimana di puncak
sana kalau udara di Pelawangan saja sudah begini.
Summit attack
totally failed. Itu yang terlintas di pikiran saya saat ini.
Tapi
temen-temen yang lain meyakinkan saya semoga cuaca malam ini lebih baik
sehingga kami bisa muncak. Pfuuh… jujur saja saya tak yakin. Udara spertinya
benar-benar tak bersahabat.
08.00 WITA Kami
kedatangan tamu :) mas Haikal datang dan menawarkan untuk muncak jam 10 pagi
ini.
Haahh..??
tawarannya cukup menggiurkan sih. Setidaknya kami akan lebih save jika gabung
dengan tim mereka. Kami 7 cewek, 2 cowok, dan tim mas Haikal keempatnya cowok.
Tapiiii…
keyakinan saya masih goyah. Setau saya (hasil nonton acara tipi), muncak
Rinjani itu sebaiknya dibawah jam 8 pagi. Di atas jam 8 cuaca di puncak
berbahaya. Dan seketika pikiran saya kacau balau.
Mas Haikal
pun meyakinkan bahwa gak ada masalah muncak pagi begini. Begitu info yang dia
dapat dari bapak porter timnya.
Hmm…
baiklah… saya pun ngikut.
09.30 WITA
Persiapan… dan karena emang ibu-ibu yaaaa… lama deh prepare nya.. hihihihi… tau
banget deh tim nya mas Haikal bosen nungguin kami :D
|
- Prepare yang memakan waktu ;) - |
11.00 WITA
langkah pertama menuju puncak pun diayunkan.
Berpapasan
dengan tenda terakhir di camp ground, ada suara yang cukup menggoyahkan
keyakinan. Berasal dari bapak porter disitu, “waaahh.. pendaki sekarang ekstrim
yaaa… gila!!”
Kami Cuma
tersenyum, tapi saya sempat menghentikan langkah, begitu juga dengan Achie dan
mbak Lia.
Hmm… mungkin ucapan bapak porter barusan semacam reminder bahwa
muncak jam segini sangat tidak disarankan. Saya coba mengaitkan ucapan bapak
porter dengan info dari tv yang pernah saya tonton.
Perlahan
saya melanjutkan langkah, menengadahkan kepala, diatas sana sudah ada mas
Haikal, mbak Endah, mbak Indri, mbak Lia, Adhi. Baiklah… sepertinya tidak ada
salahnya mencoba. Cuaca juga sepertinya sudah membaik.
Langkah pun
dilanjutkan kembali. Berpapasan dengan beberapa pendaki yang turun. Dan ketemu
lagi dengan kang Ay dan mas Tege. Ngobrol sebentar, dan warning dari mereka
untuk lebih hati-hati, karena meski cuaca dibawah aman, semakin ke puncak akan
ada badai. Saya sempat kembali goyah, tapi hati saya berontak untuk terus
berjalan, meyakinkan diri bahwa saya bisa sampai puncak. Tapi Achie... smpat
terdiam cukup lama dan akhirnya memutuskan turun, kembali ke tenda. Dan Hamzah
pun mengantarkan Achie.
Kami terus
melanjutkan perjalanan. Trek pasir cukup buat frustasi. Naik 3 langkah turun 2
langkah. Ow my God. Cuaca pun tak stabil. Terang, gelap, hujan mulai turun,
cerah kembali, gerimis.
|
- trek pasir - |
Saya
tertinggal cukup jauh. Saat ini hanya ada Adhi, mbak Nina, dan mbak Dian.
Setiap ada
kesempatan beristirahat, saya selalu menengadah ke atas, dan melihat ke bawah. Perang
batin. Keyakinan saya bolak-balik goyah, antara melanjutkan perjalanan ke
puncak atau turun kembali ke tenda. Apalagi cuaca tak menunjukkan ada
kemungkinan ke arah membaik. Sepanjang jalan ditemani kabut, angin dan hujan
kecil. Tapi kalau saya turun, saya turun sama siapa?? Nanti nyasar lagi. Perang
batin tak kunjung usai.
|
- saya yang tertinggal jauh - |
2 jam
perjalanan, langkah saya melambat. Saya mulai sangat frustasi, amat sangat
lelah, jantung bolak-balik berdetak tak biasa, perasaan ga karuan. Saat ini
saya hanya berharap masih ada pendaki yang turun dari puncak, dan saya akan
ikut turun. Tapi kenyataannya sampai 1 jam berlalu, tak tampak ada pendaki yang
turun. Yaaa… sepertinya tim kami adalah rombongan terakhir yang muncak hari
ini.
Sekujur tubuh
basah sudah, saya kedinginan, menggigil. Begitu ada batu yang cukup besar, saya
pun berlindung di baliknya sekedar menghalau angin yang terus berhembus. Cukup
lama saya terdiam, berpikir. Seketika memori otak saya memutar ulang semua
perjuangan dan pengorbanan saya sampai ke titik ini.
Impian, Doa,
Hidup, Tuhan.
Mulai terasa
sesak. Perlahan air mata mulai mengalir. Saya tertunduk, mencoba menepisnya.
Saya ga mau mbak Dian, mbak Nina, dan Adhi yang saat ini bersama saya khawatir
jika melihat saya menangis.
“mbak, saya
turun.”
Kalimat ini
pun akhirnya terlontar dari mulut saya. Sesungguhnya berat sekali mengucapkan
kalimat ini. Tapi saya hanya tidak mau semuanya berakhir konyol. Saya sudah
berjuang, Tuhan hanya memberi saya kekuatan sampai disini. Syukuri itu. That’s
it. Puncak bukanlah segalanya, perjuangan saya dan makna hidup yang saya
peroleh dari perjalanan ini merupakan hal yang lebih berharga.
“hah..!!
Yakin din..?” mbak Dian spertinya masih tak percaya dengan apa yang
didengarnya.
“kamu pasti
bisa kok. Ayo dong… sedikit lagi.. nyampe puncak pasti cuaca cerah deh.. tuh
lihat..” mbak Dian menunjuk ke arah langit puncak, yang benar saja seketika
saya melihat lagit biru awan putih terhampar indah di atas sana.
“eh Iya…
ayo..ayo..” mbak Nina pun berusaha men-supprot saya.
“Yakin mbak…
saya turun..” suara saya mulai tak stabil… kembali air mata ingin tumpah.
Keputusan
ini sudah saya ambil. Dan saya yakin saya harus turun. Tidak ada tawar menawar.
“Ya udah..
turun bareng aku.” Kata mbak Dian.
“hah..??
Enggak mbak, ga usah. Saya turun sendiri aja.” Saya sudah mengambil keputusan,
maka saya harus tanggung resikonya. Saya harus siap turun sendiri. Saya yakin
saya bisa, ga pake nyasar :). Lagi pula saya ga mau merasa bersalah, kalau
karena saya mbak Dian malah ga jadi muncak.
“Enggak,,
kamu turun saya yang temeni. Emang kamu yakin turun sendiri?”
Ucapan mbak
Dian cukup buat saya terdiam dam berpikir ulang.
“udah gak
apa-apa, aku temeni.” Kalimat mbak Dian meyakinkan saya.
Saya pun
mengangguk dan turun bersama mbak Dian. Sedangkan Adhi dan mbak Nina
melanjutkan perjalanan menuju puncak.
“Aku yakin
kamu bisa lho Din, kenapa nyerah..??” mbak Dian masih mencoba memompa
semangatku untuk muncak.
“ Mbak,,
maaf sudah membuat mu ga sampe puncak… maaf yaaa… tapi apa yang udah aku
putusin ga akan bisa aku tarik lagi. Perasaanku ga enak mbak. Aku tau
kemampuanku cuma sampai disini.” Saya mengucapkan kalimat itu dengan perasaan
yang masih berantakan. Masih pengen nangis.
Sampai
tiba-tiba Hamzah muncul. Cukup mengagetkan. Karena tadi dia mengantar Achie ke
tenda, dan bilang ga ikut muncak. Tapi iniiiii… dia muncul. Waduuu… kalo
dipikir-pikir cepet bgt langkah ini anak.
Dan begitu
Hamzah muncul di hadapanku.
“Hoiii…!!”
teriaknya. “Lho… mau kemana..?” Tanya nya heran.
“Turun… Adin
mutusin turun nih.” Jawab mbak Dian.
Saya mengangguk, sedikit tersenyum ke Hamzah, lalu seketika tangisku pecah. Mbak
Dian mengelus pundakku menenangkan.
“eh… iyaa..
udah… udah.. udah hebat lha kau ini udah sampe titik ini. Toss dulu..!!” Hamzah
mencoba menghibur.
Masih dalam kondisi berlinang air mata, saya
pun menyambut tangan Hamzah untuk ber-toss ria ^_^
“Ya udah..
hati-hati kalian yaaa… aku anter jaket mbak Endah dulu nih,, nanti aku susul
kalian turun. Kasian dia, tadi jaketnya malah aku bawa turun.”
Saya dan mbak
Dian mengangguk dan melanjutkan perjalanan turun.
“Din, kamu
masih inget jalannya kan..? aku ini payah kalo inget jalan.”
Nah lho… si
mbak Dian mau nemeni saya turun malah ga inget jalan turun. Hahaha… saya sempet
kaget denger pertanyaannya. Tapi memang… yang penting itu adalah tidak sendiri
di tengah situasi seperti ini. Kalopun nyasar, ya nyasar berdua. :D
“Insyallah
mbak, liat aja bekas jejak sepatu di pasirnya.”
Dan
jawaban saya tak cukup meyakinkan sebenarnya. Tapi mencoba tak ada salahnya.
Kamipun
terus melangkah turun. Jalan turun memang lebih gampang dari naik. Kami tinggal
memasrahkan pijakan kaki ke pasir, dan srooott…sroooott… kami meluncur seperti
main ski :D
Tapi
akibatnya…. Tak jarang membuat kami terjatuh. Apalagi mbak Dian,, ntah sudah
berapa kali terjatuh. Aaahh… rasa pasir menyentuh kulit lumayan juga. Sakit.
“Lho… ini…”
mbak Dian menghentikan langkahnya. Celingak-celinguk mencari jalan selanjutnya.
Yaaa… saat
ini, yang terlihat di depan kami adalah jalan curam dan bahkan jurang. Jalan
terputus.
“Tapi bener
kok mbak ini jalan yang tadi kita lewati.” Saya coba mengingat kembali.
“Iya sih..
dari awal juga udah bener. Tapi bagian yang ini tadi gak ada kan? Gak ada jalan
curam kayak gini.” Mbak Dian spertinya mencoba menganalisa.
Saya terdiam sesaat, melihat sekitar, mencoba mencari jalan
keluar dari titik ini. Menggigil. Yaaaa… saya semakin menggigil. Pikiran
semakin berantakan. Tapi saya mencoba menepis segala pikiran buruk.
-- to be continued --