Rabu, 16 April 2014

Tentang Hawa



Jarum jam tanganku menunjukkan pukul setengah empat sore. Dan langit terlalu gelap untuk sore yang seharusnya cerah. Sepertinya akan turun hujan. Vespa kesayanganku pun aku belokkan ke jalan braga. Lima belas menit berselang aku sudah duduk rapi di dalam salah satu coffee shop tempat aku mengatur janji bertemu dengannya. Seseorang yang sudah tiga bulan belakangan aku kenal. Tak terlalu dekat sebenarnya. Aku hanya pernah melihatnya beberapa kali datang bersama ibunya di mesjid tempat aku biasa sholat shubuh atau maghrib berjamaah. Mulanya biasa, tapi tak bisa dipungkiri kegiatan rutinnya ke mesjid cukup menarik perhatianku. Seorang gadis belia bersama sang ibu hampir setiap hari sholat berjamaah di mesjid. Aahh... lelaki mana yang tak terpesona. Tapi kekagumanku hanya sebatas itu.
Siapa sangka dua minggu setelah aku sering memperhatikannya, kami dipertemukan dalam satu pertemuan komunitas sosial. Dan aku akhirnya berkenalan dengannya. Aisyah namanya. Nama yang pantas disanding olehnya. Sejak saat itulah aku mulai berkomunikasi dengannya. Aku pun akhirnya tahu bahwa dia juga suka memperhatikanku yang cukup sering sholat ke mesjid. Sudah pasti aku merasa tersanjung, dan mulai berpikir ingin kenal lebih dekat dengannya.
Hari ini, hampir tiga bulan aku mengenal dia. Sudah pernah pula aku berbincang ringan dengan ibunya ketika bertemu di mesjid, pun dengan adik lelakinya, yang belakangan sering aku ajak jalan ataupun ngobrol santai di sekitar halaman mesjid jika menunggu adzan maghrib berkumandang. Maka aku semakin menyenangi keluarganya, dan aku ingin menjadi bagian keluarganya.
Hujan pun turun dengan sangat deras pada akhirnya. Bandung yang sudah dingin menjadi semakin dingin. Jalanan mulai basah, tak ada aktifitas pejalan kaki di braga sore ini. Secangkir espresso pesananku pun datang tepat saat Aisyah datang. Dan disaat itu pulalah senyum yang harusnya aku sunggingkan untuk Aisyah memudar. Aisyah memang sempat mengabarkan bahwa dia akan datang bersama temannya karena sungkan jika harus bertemu di luar rumah dengan lelaki hanya berdua. Maka aku pikirpun tak masalah. Mungkin menghindari fitnah. Mengingat katanya, dia juga sedang didekati seorang lelaki. Dan aku pikir dia akan datang bersama teman wanitanya atau adik lelakinya.
Tapi… Aisyah pun tersenyum ke arah ku sambil mengenalkan seorang lelaki yang datang bersamanya. Aku tak begitu jelas mendengar nama lelaki itu. Aku masih belum bisa mengontrol diriku. Maka obrolan yang mengalir sore itu entah apa saja. Niat untuk menyampaikan maksud sebenarnya kepada Aisyah runtuh seketika.
--- 0ooo0 ---

Seorang di seberang telepon sepertinya sangat penasaran dengan kisahku hari ini. Dia adalah adik perempuanku, Nirina, yang saat ini sedang berkuliah di Yogyakarta. Sosok yang selalu menjadi tempat aku berbagi cerita soal wanita yang aku dekati. 
“Kakang sepertinya mundur saja, Na.” Kataku di tengah obrolan yang sudah terjadi hampir empat puluh menit.
“Lho… kok…?? Kamu belum mulai kang… masa udah menyerah.” Nirina berargumen.
“Dia datang sama cowok yang aku rasa cowok itu adalah orang yang lagi dekat sama dia.”
“Emangnya cowok itu mengenalkan diri sebagai pacar atau calon suaminya Aisyah…?” Nirina mulai terdengar tak sependapat.
“Ya enggak sih. Tapi kan tadi udah semacam peringatan. Mungkin kedekatanku selama ini dengan Aisyah emang cuma dia anggap sebagai pertemanan biasa dan sebatas tetangga.”
“Kakang belum nanya sama orangnya, belum cari tahu yang sebenarnya, udah punya jawaban dan kesimpulan sendiri. Kalau ternyata salah gimana…?? Perang belum dimulai, pendekarnya udah mundur. Gimana sih…??”
“Euumm…” Cukup lama aku terdiam dan mencerna semua ucapan Nirina.
“Telepon dia sekarang kang, katakan maksud kakang yang sebenarnya. Atau, kalau perlu ke rumahnya jika dia sungkan ketemu berdua di luar.”
“Kamu mungkin ada benarnya, Na. Tapi kalau ke rumahnya gak memungkinkan, ada ibu dan adiknya, sama aja gak ada obrolan empat mata. Kalau telepon sudah kemalaman.”
“Besok kan masih bisa ditelepon kakang…” Nirina kembali sewot.
“Iya.. nanti aku telepon deh.”
Dan pembicaraan kami pun tak berlangsung lama setelah pembahasan tentang Aisyah. Sang malam sudah semakin larut.
--- 0ooo0 ---

Assalamualaikum… Pagi Aisyah… tolong cek email yaaa… saya ada mengirim sesuatu. Dan segera sms saya balik kalau emailnya sudah dibalas.
--message sent—

Aku memutuskan untuk memberitahu maksudku kepada Aisyah lewat email saja. Dan pagi ini, baru saja aku mengabarkan kiriman emailku lewat sms kepadanya. Entahlah… apa iya aku tidak cukup berani mengutarakan secara langsung maksudku yang ingin melamarnya, menikah dengannya? Tapi ku rasa lewat sebuah tulisan sebuah tujuan akan tersampaikan lebih efektif. Sang pembaca pasti akan coba mencerna dan mungkin membaca berulang setiap kalimat yang tertulis untuk kemudian dia pahami dan mengambil sebuah keputusan tepat.
Aku memang sepakat dengan Nirina untuk mencari tahu jawaban, maju berperang sampai bendera putih dikibarkan atau justru bendera kemenangan yang terkembang, meskipun aku tak mengikuti sarannya untuk menelepon apalagi datang kerumahnya.
Sehari… dua hari… hampir seminggu sudah sms balasan dari Aisyah tak kunjung ku terima. Dan aku pun memang tak terlalu begitu memikirkannya belakangan ini karena kondisi ayah yang sedang sakit. Aku lebih memikirkan ayah, dan bahkan terpaksa aku harus kembali ke Garut untuk membantu ibu menjaga ayah. Usaha distroku di Bandung aku tinggalkan sementara waktu.
--- 0ooo0 ---

Assalamuaikum akang… Maaf baru beri kabar. Kemarin-kemarin saya masih sibuk untuk urus wisuda, jadi baru kemarin sore sempat cek email. Kaget ih baca emailnya :) dan email akang sudah saya balas yaaa…
--message received—

Jantungku terasa berdetak tak biasa begitu menerima sms dari Aisyah. Dan seketika aku meluncur ke warnet untuk membaca balasan emailnya. Aahh… perasaanku benar-benar tak karuan hari ini.
Tersenyum, tertawa, bingung, sedih dan berakhir pada kelegaan setelah setiap kalimat yang tertulis di layar surat elektronik itu aku baca.
Aisyah… terimakasih sudah pernah hadir di hidupku.
Aisyah… aku mundur dan berhenti berharap terhadapmu.
Aisyah… ku hargai keputusanmu.
Aku berusaha menegarkan diri ketika berjalan pulang ke rumah. Berusaha terdengar santai dan tersenyum saat aku menelepon Nirina untuk mengabarkan isi balasan email dari Aisyah.
 “Dia bilang dia belum siap menikah dalam waktu dekat, Na. Dan cowok yang waktu itu datang dengannya memang cowok yang sedang mendekati dirinya, teman kampusnya. Yaaa… meskipun kata dia mereka gak pacaran dan belum ada pembicaraan serius ke arah pernikahan, tapi dari cara dia bercerita aku tahu dia juga membuka hati untuk cowok itu.” Aku menjelaskan panjang lebar pada Nirina.
“Euumm… ya..ya.. belum siap menikah…?? Klise sih kang… itu cuma alesan menolak kakang secara halus. Dan mungkin, bisa jadi dia gak punya perasaan lebih sama cowok itu. Untuk saat ini mungkin dia cuma nyaman jalan sama cowok itu. Temen kampus nya sih. Tiap hari ketemu.
“Seenggaknya kakang udah mencoba dan udah tahu jawabannya kan…?? Gak cuma nebak-nebak dan gak mengambil kesimpulan sendiri. Perjuangan kali ini memang sudah berakhir kang, tapi tetaplah berjuang untuk orang-orang yang pantas diperjuangkan. Untuk sekarang, ada ayah yang butuh kakang. Maaf, Nirina belum bisa pulang. Nirina cuma bisa kirim doa buat ayah. Tetaplah membangun asa meski kita belum tahu pada apa dan siapa asa itu tertuju, meski kita belum tahu kapan asa itu berujung. Cepat atau lambat kita pasti akan sampai pada satu kebahagiaan kan…?”
Aku tersenyum mendengar tiap kalimat yang terlontar dari pemilik suara di seberang sana. Aaahh.. Nirina… meski kamu lebih muda dariku, kamu selalu bisa menenangkanku.
Thanks ya, Na.” ucapku sebelum mengakhiri obrolan.
--- 0ooo0 ---

Lima hari sudah berlalu sejak aku membaca balasan email Aisyah. Aku baik dan terus berusaha merasa baik. Dan Alhamdulillah, ayah juga sudah semakin membaik meski aku belum tega meninggalkan ayah dan ibu untuk kembali ke Bandung.
Sore hari di Garut tak kalah menyenangkan dengan sore di Bandung. Yaaa… sudah lima hari ini pula setiap sore aku menghabiskan waktu di pinggir pantai ranca buaya. Cuma butuh waktu setengah jam dengan berjalan kaki aku sampai di pantai yang indah ini. Aku menemukan ketenangan dan kedamaian disini. Aku seperti merasa bisa lebih dekat dengan sang Khalik. Mencoba membangun kembali mimpi-mimpi dan harapan-harapanku. Bahkan mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Aaah… terkadang malas mengingat sebenarnya, tapi tetap saja teringat.
Teringat pada gadis manis berkerudung yang aku temui di kapal saat aku hendak menyeberang untuk liburan ke Karimun Jawa. Gadis yang sebut saja namanya “Iis”. Aku suka tersenyum geli sendiri mengingatnya. Gadis yang terlihat jutek dan cuek. Namun kejutekan dan kecuekannya luntur seketika saat dia menawarkan diri untuk membantu kami mengambil foto, karena dia melihat temanku yang menoleh kesana-kemari mencari orang yang bisa dimintai tolong untuk memoto kami. Dia tersenyum dan tanpa ragu menawarkan bantuan. Sayang, aku tak sempat berkenalan dengannya. Setelah memoto kami dia langsung berlalu entah kemana. Aku tak menemukannya kembali di seputaran kapal.
Sampai-sampai sempat tersirat niat gila ingin kembali ke Karimun Jawa hanya untuk mencari kembali sosok “Iis”, karena aku yakin dia adalah penduduk lokal Karimun Jawa, jadi pasti tak terlalu sulit menemukannya dengan modal satu foto yang sempat aku candid sebelum dia berlalu pergi waktu itu. Tapi melalui foto itulah aku menyadari sesuatu, menyadari tak seharusnya aku meneruskan niat gila ku itu. Sebilah cincin telah melingkar cantik di jari manis tangan kanannya. Aaah... sepertinya dia sudah menikah. Dan aku senyum-senyum sendiri sore ini mengingat kekonyolan ku kala itu.
Indira… salah satu teman di komunitas sosial juga sempat menarik perhatianku sebelum aku mengenal Aisyah. Gadis sumatera yang pintar dan humoris. Gadis yang pernah dengan tegasnya mengkritik ku secara terang-terangan untuk beberapa hal. Tapi justru tindakannya yang mengkritikku itulah yang menyadarkan ku bahwa aku jatuh hati padanya. Sampai aku menyadari bahwa aku mungkin tak pantas untuknya. Aku mundur sebelum berjuang. Aku mengurangi intensitas kedekatanku dengannya hanya karena masih merasa kurang pantas. Indira, gadis sholeha, cantik dan pintar lulusan universitas luar negeri, sedangkan aku hanya pengusaha kecil lulusan akademi swasta di Bandung. Aku yakin masih banyak lelaki terbaik di luar sana untuk Indira.
Aku ingat bagaimana Nirina kecewa karena aku mundur sebelum memperjuangkan Indira. Aku diam sebelum bertanya dan mencari jawaban yang aku inginkan. Maka itu, kenapa Nirina tak mau lagi membiarkanku mundur sebelum memperjuangkan Aisyah. Meskipun hasilnya tetap tak sesuai keinginanku.
Suara debur ombak menyadarkan lamunanku, menyadarkan sederetan ingatan ku tentang ciptaan Tuhan yang bernama Hawa. Aaahh… sebegitu rumitnya kah memperjuangkan niat mulia? Sebegitu rumitkah menemukan cinta? Aku hanya ingin melengkapi sunnah Rasulmu ya Allah. Menjadi pengantin, menjadi suami terbaik, menjadi imam yang sholeh untuk keluarga kecilku kelak, menjadi ayah yang hebat bagi anak-anakku.

Fokus pada apa yang ada sekarang saja dulu, kang. Ayah lebih membutuhkanmu. Dan nanti, jika kembali ada wanita yang menarik perhatianmu, tak perlu gegabah. Kenali saja dia terlebih dahulu, selipkan dia dalam tiap doamu. In shaa Allah, Dia akan menuntunmu padanya.

Isi sms Nirina ku terima saat aku sampai dirumah. Dan saat hendak menutup pagar rumah, kembali, ada seorang gadis menarik perhatianku. Gadis itu, sudah tiga hari ini aku sering melihatnya menggandeng ibu tua, mungkin ibunya, naik turun angkot di jam delapan pagi ataupun jam enam sore seperti sore ini. Sekilas, sore ini aku melihat jelas wajahnya. Subhanallah cantik. Dan dia tersenyum ke arahku.
--- 0ooo0 ---