Jarum
jam tanganku menunjukkan pukul setengah empat sore. Dan langit terlalu gelap
untuk sore yang seharusnya cerah. Sepertinya akan turun hujan. Vespa
kesayanganku pun aku belokkan ke jalan braga. Lima belas menit berselang aku
sudah duduk rapi di dalam salah satu coffee
shop tempat aku mengatur janji bertemu dengannya. Seseorang yang sudah tiga
bulan belakangan aku kenal. Tak terlalu dekat sebenarnya. Aku hanya pernah
melihatnya beberapa kali datang bersama ibunya di mesjid tempat aku biasa
sholat shubuh atau maghrib berjamaah. Mulanya biasa, tapi tak bisa dipungkiri
kegiatan rutinnya ke mesjid cukup menarik perhatianku. Seorang gadis belia
bersama sang ibu hampir setiap hari sholat berjamaah di mesjid. Aahh... lelaki
mana yang tak terpesona. Tapi kekagumanku hanya sebatas itu.
Siapa
sangka dua minggu setelah aku sering memperhatikannya, kami dipertemukan dalam
satu pertemuan komunitas sosial. Dan aku akhirnya berkenalan dengannya. Aisyah
namanya. Nama yang pantas disanding olehnya. Sejak saat itulah aku mulai
berkomunikasi dengannya. Aku pun akhirnya tahu bahwa dia juga suka
memperhatikanku yang cukup sering sholat ke mesjid. Sudah pasti aku merasa
tersanjung, dan mulai berpikir ingin kenal lebih dekat dengannya.
Hari
ini, hampir tiga bulan aku mengenal dia. Sudah pernah pula aku berbincang
ringan dengan ibunya ketika bertemu di mesjid, pun dengan adik lelakinya, yang
belakangan sering aku ajak jalan ataupun ngobrol santai di sekitar halaman mesjid
jika menunggu adzan maghrib berkumandang. Maka aku semakin menyenangi
keluarganya, dan aku ingin menjadi bagian keluarganya.
Hujan
pun turun dengan sangat deras pada akhirnya. Bandung yang sudah dingin menjadi
semakin dingin. Jalanan mulai basah, tak ada aktifitas pejalan kaki di braga
sore ini. Secangkir espresso pesananku
pun datang tepat saat Aisyah datang. Dan disaat itu pulalah senyum yang
harusnya aku sunggingkan untuk Aisyah memudar. Aisyah memang sempat mengabarkan
bahwa dia akan datang bersama temannya karena sungkan jika harus bertemu di
luar rumah dengan lelaki hanya berdua. Maka aku pikirpun tak masalah. Mungkin
menghindari fitnah. Mengingat katanya, dia juga sedang didekati seorang lelaki.
Dan aku pikir dia akan datang bersama teman wanitanya atau adik lelakinya.
Tapi…
Aisyah pun tersenyum ke arah ku sambil mengenalkan seorang lelaki yang datang
bersamanya. Aku tak begitu jelas mendengar nama lelaki itu. Aku masih belum
bisa mengontrol diriku. Maka obrolan yang mengalir sore itu entah apa saja.
Niat untuk menyampaikan maksud sebenarnya kepada Aisyah runtuh seketika.
---
0ooo0 ---
Seorang
di seberang telepon sepertinya sangat penasaran dengan kisahku hari ini. Dia
adalah adik perempuanku, Nirina, yang saat ini sedang berkuliah di Yogyakarta.
Sosok yang selalu menjadi tempat aku berbagi cerita soal wanita yang aku
dekati.
“Kakang
sepertinya mundur saja, Na.” Kataku di tengah obrolan yang sudah terjadi hampir
empat puluh menit.
“Lho…
kok…?? Kamu belum mulai kang… masa udah menyerah.” Nirina berargumen.
“Dia
datang sama cowok yang aku rasa cowok itu adalah orang yang lagi dekat sama
dia.”
“Emangnya
cowok itu mengenalkan diri sebagai pacar atau calon suaminya Aisyah…?” Nirina
mulai terdengar tak sependapat.
“Ya
enggak sih. Tapi kan tadi udah semacam peringatan. Mungkin kedekatanku selama
ini dengan Aisyah emang cuma dia anggap sebagai pertemanan biasa dan sebatas
tetangga.”
“Kakang
belum nanya sama orangnya, belum cari tahu yang sebenarnya, udah punya jawaban
dan kesimpulan sendiri. Kalau ternyata salah gimana…?? Perang belum dimulai,
pendekarnya udah mundur. Gimana sih…??”
“Euumm…”
Cukup lama aku terdiam dan mencerna semua ucapan Nirina.
“Telepon
dia sekarang kang, katakan maksud kakang yang sebenarnya. Atau, kalau perlu ke
rumahnya jika dia sungkan ketemu berdua di luar.”
“Kamu
mungkin ada benarnya, Na. Tapi kalau ke rumahnya gak memungkinkan, ada ibu dan
adiknya, sama aja gak ada obrolan empat mata. Kalau telepon sudah kemalaman.”
“Besok
kan masih bisa ditelepon kakang…” Nirina kembali sewot.
“Iya..
nanti aku telepon deh.”
Dan
pembicaraan kami pun tak berlangsung lama setelah pembahasan tentang Aisyah.
Sang malam sudah semakin larut.
---
0ooo0 ---
Assalamualaikum… Pagi Aisyah… tolong
cek email yaaa… saya ada mengirim sesuatu. Dan segera sms saya balik kalau
emailnya sudah dibalas.
--message sent—
Aku
memutuskan untuk memberitahu maksudku kepada Aisyah lewat email saja. Dan pagi
ini, baru saja aku mengabarkan kiriman emailku lewat sms kepadanya. Entahlah…
apa iya aku tidak cukup berani mengutarakan secara langsung maksudku yang ingin
melamarnya, menikah dengannya? Tapi ku rasa lewat sebuah tulisan sebuah tujuan
akan tersampaikan lebih efektif. Sang pembaca pasti akan coba mencerna dan
mungkin membaca berulang setiap kalimat yang tertulis untuk kemudian dia pahami
dan mengambil sebuah keputusan tepat.
Aku
memang sepakat dengan Nirina untuk mencari tahu jawaban, maju berperang sampai
bendera putih dikibarkan atau justru bendera kemenangan yang terkembang, meskipun
aku tak mengikuti sarannya untuk menelepon apalagi datang kerumahnya.
Sehari…
dua hari… hampir seminggu sudah sms balasan dari Aisyah tak kunjung ku terima.
Dan aku pun memang tak terlalu begitu memikirkannya belakangan ini karena
kondisi ayah yang sedang sakit. Aku lebih memikirkan ayah, dan bahkan terpaksa
aku harus kembali ke Garut untuk membantu ibu menjaga ayah. Usaha distroku di
Bandung aku tinggalkan sementara waktu.
---
0ooo0 ---
Assalamuaikum akang… Maaf baru beri
kabar. Kemarin-kemarin saya masih sibuk untuk urus wisuda, jadi baru kemarin
sore sempat cek email. Kaget ih baca emailnya :) dan email akang sudah saya
balas yaaa…
--message received—
Jantungku
terasa berdetak tak biasa begitu menerima sms dari Aisyah. Dan seketika aku meluncur
ke warnet untuk membaca balasan emailnya. Aahh… perasaanku benar-benar tak
karuan hari ini.
Tersenyum,
tertawa, bingung, sedih dan berakhir pada kelegaan setelah setiap kalimat yang
tertulis di layar surat elektronik itu aku baca.
Aisyah…
terimakasih sudah pernah hadir di hidupku.
Aisyah…
aku mundur dan berhenti berharap terhadapmu.
Aisyah…
ku hargai keputusanmu.
Aku
berusaha menegarkan diri ketika berjalan pulang ke rumah. Berusaha terdengar
santai dan tersenyum saat aku menelepon Nirina untuk mengabarkan isi balasan
email dari Aisyah.
“Dia bilang dia belum siap menikah dalam waktu
dekat, Na. Dan cowok yang waktu itu datang dengannya memang cowok yang sedang mendekati
dirinya, teman kampusnya. Yaaa… meskipun kata dia mereka gak pacaran dan belum
ada pembicaraan serius ke arah pernikahan, tapi dari cara dia bercerita aku
tahu dia juga membuka hati untuk cowok itu.” Aku menjelaskan panjang lebar pada
Nirina.
“Euumm…
ya..ya.. belum siap menikah…?? Klise sih kang… itu cuma alesan menolak kakang
secara halus. Dan mungkin, bisa jadi dia gak punya perasaan lebih sama cowok
itu. Untuk saat ini mungkin dia cuma nyaman jalan sama cowok itu. Temen kampus
nya sih. Tiap hari ketemu.
“Seenggaknya
kakang udah mencoba dan udah tahu jawabannya kan…?? Gak cuma nebak-nebak dan
gak mengambil kesimpulan sendiri. Perjuangan kali ini memang sudah berakhir
kang, tapi tetaplah berjuang untuk orang-orang yang pantas diperjuangkan. Untuk
sekarang, ada ayah yang butuh kakang. Maaf, Nirina belum bisa pulang. Nirina
cuma bisa kirim doa buat ayah. Tetaplah membangun asa meski kita belum tahu
pada apa dan siapa asa itu tertuju, meski kita belum tahu kapan asa itu
berujung. Cepat atau lambat kita pasti akan sampai pada satu kebahagiaan kan…?”
Aku
tersenyum mendengar tiap kalimat yang terlontar dari pemilik suara di seberang
sana. Aaahh.. Nirina… meski kamu lebih muda dariku, kamu selalu bisa
menenangkanku.
“Thanks ya, Na.” ucapku sebelum
mengakhiri obrolan.
---
0ooo0 ---
Lima
hari sudah berlalu sejak aku membaca balasan email Aisyah. Aku baik dan terus
berusaha merasa baik. Dan Alhamdulillah, ayah
juga sudah semakin membaik meski aku belum tega meninggalkan ayah dan ibu untuk
kembali ke Bandung.
Sore
hari di Garut tak kalah menyenangkan dengan sore di Bandung. Yaaa… sudah lima
hari ini pula setiap sore aku menghabiskan waktu di pinggir pantai ranca buaya.
Cuma butuh waktu setengah jam dengan berjalan kaki aku sampai di pantai yang
indah ini. Aku menemukan ketenangan dan kedamaian disini. Aku seperti merasa
bisa lebih dekat dengan sang Khalik. Mencoba membangun kembali mimpi-mimpi dan
harapan-harapanku. Bahkan mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Aaah…
terkadang malas mengingat sebenarnya, tapi tetap saja teringat.
Teringat
pada gadis manis berkerudung yang aku temui di kapal saat aku hendak
menyeberang untuk liburan ke Karimun Jawa. Gadis yang sebut saja namanya “Iis”.
Aku suka tersenyum geli sendiri mengingatnya. Gadis yang terlihat jutek dan
cuek. Namun kejutekan dan kecuekannya luntur seketika saat dia menawarkan diri
untuk membantu kami mengambil foto, karena dia melihat temanku yang menoleh
kesana-kemari mencari orang yang bisa dimintai tolong untuk memoto kami. Dia
tersenyum dan tanpa ragu menawarkan bantuan. Sayang, aku tak sempat berkenalan
dengannya. Setelah memoto kami dia langsung berlalu entah kemana. Aku tak
menemukannya kembali di seputaran kapal.
Sampai-sampai
sempat tersirat niat gila ingin kembali ke Karimun Jawa hanya untuk mencari
kembali sosok “Iis”, karena aku yakin dia adalah penduduk lokal Karimun Jawa,
jadi pasti tak terlalu sulit menemukannya dengan modal satu foto yang sempat
aku candid sebelum dia berlalu pergi
waktu itu. Tapi melalui foto itulah aku menyadari sesuatu, menyadari tak
seharusnya aku meneruskan niat gila ku itu. Sebilah cincin telah melingkar
cantik di jari manis tangan kanannya. Aaah... sepertinya dia sudah menikah. Dan
aku senyum-senyum sendiri sore ini mengingat kekonyolan ku kala itu.
Indira…
salah satu teman di komunitas sosial juga sempat menarik perhatianku sebelum
aku mengenal Aisyah. Gadis sumatera yang pintar dan humoris. Gadis yang pernah
dengan tegasnya mengkritik ku secara terang-terangan untuk beberapa hal. Tapi
justru tindakannya yang mengkritikku itulah yang menyadarkan ku bahwa aku jatuh
hati padanya. Sampai aku menyadari bahwa aku mungkin tak pantas untuknya. Aku
mundur sebelum berjuang. Aku mengurangi intensitas kedekatanku dengannya hanya
karena masih merasa kurang pantas. Indira, gadis sholeha, cantik dan pintar
lulusan universitas luar negeri, sedangkan aku hanya pengusaha kecil lulusan
akademi swasta di Bandung. Aku yakin masih banyak lelaki terbaik di luar sana
untuk Indira.
Aku
ingat bagaimana Nirina kecewa karena aku mundur sebelum memperjuangkan Indira.
Aku diam sebelum bertanya dan mencari jawaban yang aku inginkan. Maka itu,
kenapa Nirina tak mau lagi membiarkanku mundur sebelum memperjuangkan Aisyah.
Meskipun hasilnya tetap tak sesuai keinginanku.
Suara
debur ombak menyadarkan lamunanku, menyadarkan sederetan ingatan ku tentang ciptaan
Tuhan yang bernama Hawa. Aaahh… sebegitu rumitnya kah memperjuangkan niat
mulia? Sebegitu rumitkah menemukan cinta? Aku hanya ingin melengkapi sunnah
Rasulmu ya Allah. Menjadi pengantin, menjadi suami terbaik, menjadi imam yang
sholeh untuk keluarga kecilku kelak, menjadi ayah yang hebat bagi anak-anakku.
Fokus pada apa yang ada sekarang saja
dulu, kang. Ayah lebih membutuhkanmu. Dan nanti, jika kembali ada wanita yang
menarik perhatianmu, tak perlu gegabah. Kenali saja dia terlebih dahulu, selipkan
dia dalam tiap doamu. In shaa Allah, Dia akan menuntunmu padanya.
Isi
sms Nirina ku terima saat aku sampai dirumah. Dan saat hendak menutup pagar
rumah, kembali, ada seorang gadis menarik perhatianku. Gadis itu, sudah tiga
hari ini aku sering melihatnya menggandeng ibu tua, mungkin ibunya, naik turun
angkot di jam delapan pagi ataupun jam enam sore seperti sore ini. Sekilas,
sore ini aku melihat jelas wajahnya. Subhanallah
cantik. Dan dia tersenyum ke arahku.
---
0ooo0 ---