Rabu, 25 September 2013

Catatan Perjalanan untuk Kepedulian

Seorang pemuda setempat menghampiri saya sambil mengatakan sesuatu yang mulanya saya tak mendengar dengan pasti karena suara dari dalam ruangan lebih besar volumenya.

“Iya bang, kenapa…?” tanya saya untuk memastikan dia berbicara apa.

“Ayo kak, kita makan bersama di dalam.” Katanya.

Sambil tersenyum saya pun menjawab. “ Oh iya.. makasi bang… silahkan… abang saja duluan.”

Yaaa… dia adalah satu dari 400-an pengungsi yang ada di Desa Payung, Kec. Payung, Tanah Karo yang berasal dari Desa Suka Meriah (satu dari 5 zona merah, daerah rawan terkena erupsi Gunung Sinabung).

Meski dalam kondisi yang memprihatinkan, dia masih bisa tersenyum, bahkan mengajak saya, yang kala itu datang bersama rombongan Sahabat Indonesia Berbagi (SIGI, Reg.Medan), Sahabat 5cm SUMUT, dan Nyfara Foundation untuk memberikan bantuan kepada para pengungsi gunung Sinabung.

Makan dijatah, hidup bersama dengan ratusan orang lainnya, hanya beralas tikar, bahkan beratap tenda. Yaa… seperti itulah kondisi para pengungsi gunung Sinabung.

 makan malam untuk para pengungsi


salah satu kondisi tenda pengungsi


Desa Payung adalah posko pengungsian kedua setelah sebelumnya rombongan kami menyalurkan bantuan ke dusun Kuta Rayat, Desa Kuta Rayat, Tanah Karo, dimana para pengungsi di posko ini sebanyak 1500-an orang lebih.

Di tempat seperti ini lah kita belajar untuk lebih bersyukur. Melihat langsung kondisi para pengungsi, ikut berempati. Apa yang kita berikan tentu tak sebanding dengan rasa takut, traumatic yang mereka rasakan.

Dari Desa Kuta Rayat, menuju Desa Payung, rombongan kami melintas berpuluh kilo meter jalanan sempit yang tak semuanya mulus. Jalanan menanjak dan menurun. Berbelok tikungan tajam dan jalan berbatu. Kami melalui Desa Sigarang-garang, dan Desa Suka Meriah yang seperti kota mati. Tak ada penghuni. Kosong. Hanya ada ayam dan anjing yang berkeliaran. Suasana petang, langit menguning, dan jarak yang begitu dekat dengan Gunung Sinabung jujur membuat kami sempat khawatir. Dari samping kanan jendela mobil jelas terlihat sang Maha Puncak Sinabung masih “batuk” mengeluarkan abu vulkaniknya. Bau belerang pun terasa. Pepohonan, dedaunan, rumah penduduk berubah warna menjadi keabuan karena semburan abu vulkanik.


  perjalanan menuju Desa Payung,, semburan erupsi Sinabung mulai terlihat jelas

 



Handphone saya berdering. Bang Fajri, selaku leader dari Nyfara Foundation, yang berada di mobil depan mobil kami, menghubungi saya kala itu.

“Mbak Dinda, Kita baru aja melewati desa yang penduduknya sudah mengungsi semua. Jelas terlihat kosong ya daerah ini, tanpa penduduk.”

“Iya bang.”

“Jadi, kita tetap lanjut kan…?” tanya bang Fajri

Ah.. sepertinya bang Fajri tau apa yang sedang kami rasakan. Khawatir dan ada rasa sedikit takut. Tapi jujur… dengan telponnya barusan saya cukup merasa lega. Setidaknya saya pun bisa menenangkan rasa kekhawatiran teman-teman lainnya.

“Oke bang.. Lanjut..” Kataku mantap.

 ***

Inilah kali pertama SIGI Medan terjun langsung menyalurkan bantuan ke lokasi bencana. Dan ini pun terlaksana berkat sinergi dengan Nyfara Foundation. Karena kami yakin, ada pengalaman yang berbeda ketika kita bisa terjun langsung ke TKP. Hanya berbincang lewat twitter, bertemu wajah 2 kali, persiapan selama 3 hari (saling koordinasi via Whatsapp-sms-telpon, pengumpulan donasi di jalanan dan Ataby coffee, menerima donasi lewat rekening, belanja kebutuhan para pengungsi), niat kepedulian ini pun berjalan hari ini.... 
Minggu, 22 September 2013.

Berangkat lebih awal dari rombongan Nyfara Foundation, 2 motor yang ditumpangi 4 orang dan 2 mobil berisi 13 orang anak muda ini melintasi berpuluh kilometer menuju TKP. Yaaa… janji akan berangkat bersama terpaksa diurungkan karena kendala beberapa hal. Tapi tak apa. Kami memanfaatkan waktu sembari menunggu rombongan Nyfara dengan berkeliling kota Kabanjahe mengunjungi beberapa posko pengungsian. Mesjid, halaman perkantoran Pemerintah, gereja, jambur (tempat acara adat karo) dipenuhi para pengungsi.

Perjalanan pun kami lanjutkan. Mulanya sekedar ingin bersantai sejenak sambil makan siang karena sudah cukup lelah dan perut lapar. Tapi sembari menunggu rombongan Nyfara Foundation, kami pun membelokkan arah mobil ke Law Kawar, kaki Gunung Sinabung, yang katanya justru tidak terkena erupsi Gunung Sinabung. Sebenarnya ada rasa penasaran campur khawatir. Penasaran apakah benar Law Kawar tidak terkena erupsi Sinabung, dan khawatir jika Law Kawar benar terkena erupsi Sinabung pastilah lokasi itu akan sangat penuh abu vulkanik. Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, perjalanan menuju Law Kawar pun tak semuanya mulus. Ada satu titik dimana bau belerang begitu terasa meski kaca mobil sudah ditutup. Meski rasa ingin tau kami besar sekali, tapi rasa khawatir tetap saja menggelayuti.

“Mau makan di mana kita ini..?? Semakin kesana kayaknya semakin berabu deh..” ujar salah satu dari kami yang juga di-iya-kan oleh beberapa yang lain.

Pukul setengah 4 sore, kami pun tiba di Law Kawar. Benar saja, Ranu Kumbolo nya Sinabung ini tenang, udaranya cukup bersih, seperti tak ada tanda-tanda Gunung Sinabung sedang sakit. Yaaa… jadi, Law Kawar adalah termasuk kawasan yang tidak terkena erupsi Sinabung, karena erupsi menyembur di balik lokasi ini.

setelah numpang makan, maka pose sejenak di Law Kawar

 dengan latar belakang Gunung Sinabung, terbukti Law Kawar tak terkena imbas langsung erupsi Sinabung

Pukul 4 sore lewat sedikit, kami melanjutkan perjalanan. Janjian bertemu di salah satu persimpangan pukul setengah 5 dengan rombongan Nyfara Foundation untuk berangkat beriringan menuju posko pengungsian.
Perjalanan kami menuju 2 pos pengungsian di kawal oleh pemuda setempat. Sayang, saya lupa menanyakan nama abang tersebut. Tapi kami percayakan tujuan kemana bantuan kami akan disalurkan kepada dia. Karena memang tujuan bantuan kami adalah menyentuh langsung ke daerah yang cukup dekat dengan kaki gunung, karena kemungkinan bantuan sedikit sampai disana, karena biasanya banyak bantuan hanya jatuh di pengungsian pusat kota.

Alhamdulillah… meski ada beberapa kendala, kegiatan ini berjalan lancar. Amanah dari teman, sahabat, saudara untuk pengungsi Gunung Sinabung telah kami salurkan. Pampers, pembalut, susu bayi, susu anak siap minum, selimut, pakaian, mie instant, obat-obatan, biskuit, dan masker, semoga bermanfaat bagi mereka, dan apa yang sudah kita berikan diberkahi Allah SWT. Amin.





Terimakasih untuk doa dan dukungan dalam bentuk apapun dari semua pihak.

Untuk Rekan-rekan dari Sahabat Indonesia Berbagi (SIGI) dan Sahabat 5cm Medan – SUMUT dan seluruh nusantara, terimakasih support nya dalam bentuk apapun, dari pengumpulan donasi hingga hari H.

Untuk all crew Nyfara Foundation terimakasih sudah bersedia bersinergi bersama peduli sesama. Smoga kita bisa bekerja sama lagi yaaa :)

Untuk bang Aby dan all crew Ataby Coffee yang 3 hari belakangan bersedia coffee shop nya kita rusuhin,, buat kegiatan penggalangan dana, jadi basecamp dadakan. Semoga ga kapok yaaa menerima kehadiran kita :)

Untuk semua donatur, para hamba-hamba ALLAH…. Terimakasih. Semoga ALLAH memberkahi apa yang sudah kalian berikan. 

Kalian semua keren.

Sekali lagi… Terimakasih.

... All crew ...

Senin, 23 September 2013

Kita Bukan Sekedar Cinta Segitiga



“KTP coba keluarin satu-satu…!!”

Ah… apa ini…?? aku mengernyitkan dahi.

“Untuk apa…??” tanyaku

“Yaaa.. biar kita bisa lebih saling tau lagi. Gak ada pemalsuan data diri, biar ketauan umur.” Katanya lagi.

Yaaa… Syahroni Akbar Prabowo, aku biasa memanggil dia Kembaran atau Twin (sejarah kami yang mengaku anak kembar hanya karena kami punya baju yang sama, jauh sebelum kami saling kenal). Di sebelahnya duduk lelaki jangkung bernama Andi Budiman, yang aku panggil Kang Andi.

Kami… diperkenalkan lewat satu komunitas di jejaring sosial facebook. Dan malam itu, tak pernah terbayang di benakku sebelumnya aku akan menghabiskan semalam suntuk menyusur kota Bandung bersama dua lelaki ini. Dua lelaki yang aku kira sudah berteman lama, tapi ternyata mereka pun baru kenal gegara komunitas tersebut. Tentu saja berkenalan denganku hanya beda beberapa bulan, karena pada akhirnya aku menyempatkan diri menginjakkan kaki di Bandung untuk menghadiri pesta pernikahan sahabatku dan menemui mereka.

Euumm… bukan.. bukan hanya mereka. Ada teman-teman lainnya yang tergabung dalam komunitas yang ingin aku temui. Tapi tak bisa dipungkiri entah kenapa dengan dua lelaki ini aku punya ikatan khusus, sejak aku bertemu dan berjabat tangan dengan mereka. Dan aku percayai, ikatan yang hingga kini semakin kuat. Dan ada rasa syukur kepada Allah telah mengijinkanku mengenal mereka.

Jalan bertiga untuk pertama kalinya. Semalam suntuk. Dan kita semacam teman lama yang sudah sering jalan bersama. Tak ada ragu, tak ada batas. Hampir dua tahun lalu.


nge-Nasi goreng mumet deket ITB :D



Sempat-sempatnya bergaya ala the beatles di tengah jalan, dini hari, perempatan Dago



***

Aku masih membolak-balik badanku berusaha untuk tidur di dinginnya malam di Prapat. Yaaa… kita sampai ke Prapat terlalu cepat. Dini hari. Hanya karena supir travel yang kita tumpangi melesat lebih cepat dari seharusnya. Jadilah kita bermalam di pelataran mesjid Prapat.

Kang Andi sudah kulihat tertidur pulas. Si Twin pun tampaknya sudah menemukan posisi nyaman untuk tidurnya.

Aaaahh.. meski sudah beralas kain yang tak begitu tebal yang entah kenapa sempat aku bawa untuk perjalanan ini dan memakai jaket tebal, tetap saja aku masih merasa kedinginan. Sampai pada akhirnya aku menemukan posisi tidur yang nyaman, tepat dengan posisi memunggungi punggung si Twin.

Aku pun berhasil tidur beberapa jam hingga suara adzan berkumandang. Pintu mesjid yang sudah dibuka pun menyambut kedatanganku. Aaahh… akhirnya bisa menghangatkan diri di dalam mesjid sebelum aku menunaikan shalat shubuh.

Hari itu, setahun lewat beberapa hari, kita bisa bertualang lagi bertiga. Iya,, bertiga. Tetapi bedanya, saat itu kita ada di tanah Sumatera, tanah kelahiranku. Petualangan yang  tak pernah terbayang dalam mimpiku sekalipun.

Kembali melewati malam bersama kalian. Berjalan kaki menyusur jalanan.

Prapat, Danau Toba, Samosir menjadi saksinya kala itu. 

ga mau kalah eksis sama patung Sigale-gale :D

 tiga insan menerjang badai... eheheh..


***

“ke Selasar Sunaryo yuk..!!” Kang Andi menawarkan.

“Ah.. udah pernah kang. Ada tempat lain kah yang ga kalah seru..?” tanyaku.

“Lawangwangi aja gimana..?” Kang Andi member penawaran lain.

“Haa..?? tempat apa itu??” aku pun penasaran.

“Kayak CafĂ© gitu.”

“Googling aja kali ih…” si Twin pun ambil suara.

Beberapa menit berlalu menunggu hasil dari mbah gugel.

“Gimana..?”

“waaa… keren ini… ayuk..ayuk.. kesana..” aku pun bersemangat.

Yaaa.. kali ini, untuk kesekian kali aku berkunjung ke kota kalian. Dan untuk ketiga kali kita akan menikmati hari khusus bertiga saja.

Jalan Dago Giri adalah tujuan kita. Tak ada angkot menuju kesana. Dan kendaraan pribadi pun tak mendukung. Maka jalan kaki (seperti biasa… hahaha) menjadi pilihan. Karena diyakini pun tempat ini tak jauh dari kosan kang Andi.

Setengah jam lebih sudah berjalan kaki dengan kontur jalanan naik turun semacam lagi naik turun bukit. 

Pfuuhh… hawa dingin Bandung pun tak terasa lagi. Keringat mengucur. Tapi tempat tujuan tak juga tampak.

45 menit berlalu. 
Seperti melihat air di gurun pasir, kita tiba di Lawangwangi.

Akhirnyaaaaa….

Jalanan Bandung, Lawangwangi, tiga bulan yang lalu, menjadi saksi cinta kita lagi.

Iyaaa… kebersamaan tiga insan yang dipertemukan pasti karena Allah, dan insyallah saling menyayangi dan mencintaipun karena Allah.

Tiga insan yang bukan terjebak dalam lingkaran cinta segitiga seperti cerita sinetron, tapi cinta segitiga layaknya satu keluarga. Cinta segitiga yang kadang sulit dijelaskan.



Lawangwangi... kami dataaaaaaang :D



***

Terimakasih atas pertemuannya.

Terimakasih atas kebersamaannya.

Ku rangkum perjalanan kita sejak pertama bertemu dalam tulisan ini. Karena sepertinya aku menyadari sesuatu bahwa tiga bulan yang lalu itu adalah mungkin perjalanan khusus kita bertiga untuk terakhir kalinya.
Karena waktu tak bisa menunggu. Mimpi kita pun tak bisa ditahan. Kita punya satu tujuan masing-masing bersama “masa depan” kita. Yang mungkin jika kita nanti diberi kesempatan jalan dan bertualang bersama, pasti sudah tak bisa bertiga lagi. Tapi sungguh, jika itu kesampaian pasti tak kalah seru :D

Dan jika setelah ini kita masih diberi kesempatan jalan bertiga lagi, mungkin itu bonus, sebelum kita bersama “masa depan” kita masing-masing.